Tingkat kematian pada pasien-pasien dengan syok kardiogenik sebagai komplikasi infark miokard akut cukup tinggi bahkan setelah dilakukan revaskularisasi dini dengan percutaneous coronary intervention (PCI) atau coronary artery bypass grafting (CABG)
Intraaortic balloon counterpulsation adalah bentuk bantuan hemodinamik yang paling sering diberikan pada pasien infark miokard akut dengan komplikasi syok kardiogenik. Berdasarkan panduan Eropa dan Amerika Serikat, penggunaan balon intraaorta pada terapi syok kardiogenik diklasifikasikan kelas IB dan IC. Namun, bukti ilmiahnya hanya diambil dari rekam medis dan masih kurang percobaan acak yang mendukung. Metaanalisis yang dimasukkan hanya penelitian kohort yang menyatakan bahwa penggunaan pompa balon intraaorta dihubungkan dengan penurunan sebesar 11% risiko kematian.
Pada penelitian penggunaan pompa balon intraaorta pada syok kardiogenik (IABP-SHOCK) yang melibatkan hanya 45 pasien, tidak ada perbedaan signifikan yang ditemukan dalam hal keparahan penyakit (dengan menggunakan skor APACHE II) antara pasien yang diberikan IABP dengan kelompok kontrol yang menerima pelayanan standar, meskipun kadar BNP serial menurun secara signifikan pada kelompok IABP. Bukti yang tidak meyakinkan tersebut mungkin menjadi penjelasan mengapa penggunaan IABP hanya 25-40% dari pasien dengan syok kardiogenik, tidak sesuai dengan yang direkomendasikan.
Percobaan IABP-SHOCK II dibuat untuk menguji hipotesis bahwa IABP dibandingkan dengan terapi terbaik yang tersedia, menurunkan tingkat kematian pada pasien-pasien infark miokard akut dengan komplikasi syok kardiogenik yang telah direncanakan revaskularisasi dini. Percobaan IABP-SHOCK II merupakan penelitian yang multisenter dan acak. Rancangan penelitian telah dipublikasikan sebelumnya. Penelitian telah dirancang oleh penulis pertama, dimodifikasi oleh panitia pengarah (SC), dan akhirnya diterima oleh komite etik pada setiap senter yang terlibat.
Pasien yang disertakan untuk penelitian ini adalah mereka yang mengalami infark miokard akut (dengan atau tanpa elevasi segmen ST) dengan komplikasi syok kardiogenik dan telah direncanakan untuk revaskularisasi dini (dengan PCI atau CABG). Pasien dianggap mengalami syok kardiogenik jika dia memiliki tekanan darah sistolik kurang dari 90 mmHg selama lebih dari 30 menit atau memerlukan infus katekolamin untuk menjaga tekanan sistolik di atas 90 mmHg, mempunyai tanda klinis bendungan paru, dan perfusi organ akhir yang terganggu. Diagnosis perfusi organ akhir yang terganggu harus memenuhi paling sedikit satu dari tanda berikut: perubahan status mental, dingin, kulit dan ekstremitas lembab, oliguria dengan keluaran urin kurang dari 30 ml per jam, atau kadar laktat serum lebih tinggi daripada 2,0 mmol per liter.
Pasien tidak memenuhi syarat untuk mengikuti penelitian ini bila mereka telah diresusitasi lebih dari 30 menit, tidak memiliki aksi jantung intrinsik, dalam keadaan koma dengan dilatasi pupil menetap yang tidak diinduksi obat, memiliki penyebab mekanik syok kardiogenik (seperti defek septal ventrikuler atau ruptur otot papiler), mempunyai onset syok lebih dari 12 jam sebelum skrining, mempunyai embolisme paru masif, penyakit arteri perifer berat yang menghalangi penyisipan IABP, regurgitasi aorta dengan keparahan lebih dari grade II (pada skala I sampai IV, dengan grade yang lebih tinggi menandakan regurgitasi yang lebih berat), umur lebih tua dari 90 tahun, dalam keadaan syok sebagai hasil kondisi di luar infark miokard akut, mempunyai penyakit penyerta berat yang dihubungkan dengan harapan hidup kurang dari 6 bulan. Pasien dengan syok kardiogenik yang tidak memenuhi syarat untuk diacak dimasukan ke rekam medis. Seluruh pasien atau wakil yang sah secara hukum mengisi inform consent.
Pasien yang memenuhi syarat diacak dengan perbandingan 1:1, antara pasien yang dilakukan IABP atau tanpa IABP (kelompok kontrol). Pengacakan dilakukan secara terpusat dengan program berbasis internet.
Terapi
Pompa balon intraorta dimasukan baik sebelum PCI atau segera setelah PCI, dengan waktu penyisipan bergantung pada penyidik. Bantuan dimulai dengan penggunaan 1:1 pemicu EKG (seperti inflasi dan deflasi balon dipicu oleh gelombang R) dan dijaga sampai tercapai stabilisasi hemodinamik, yang didefinisikan sebagai tekanan darah sistolik lebih dari 90 mmHg selama lebih dari 30 menit tanpa katekolamin. Pencabutan pompa dilakukan bila didapatkan penurunan trigger ratio. Pertukaran pasien antara kelompok kontrol dengan kelompok IABP diperbolehkan jika hanya ada komplikasi mekanik (defek septum ventrikel atau ruptur otot papiler) yang terjadi setelah pengacakan.
Pompa balon intraorta dimasukan baik sebelum PCI atau segera setelah PCI, dengan waktu penyisipan bergantung pada penyidik. Bantuan dimulai dengan penggunaan 1:1 pemicu EKG (seperti inflasi dan deflasi balon dipicu oleh gelombang R) dan dijaga sampai tercapai stabilisasi hemodinamik, yang didefinisikan sebagai tekanan darah sistolik lebih dari 90 mmHg selama lebih dari 30 menit tanpa katekolamin. Pencabutan pompa dilakukan bila didapatkan penurunan trigger ratio. Pertukaran pasien antara kelompok kontrol dengan kelompok IABP diperbolehkan jika hanya ada komplikasi mekanik (defek septum ventrikel atau ruptur otot papiler) yang terjadi setelah pengacakan.
Seluruh pasien menjalani revaskularisasi dini dan menerima terapi pengobatan terbaik yang tersedia berdasarkan panduan. Jenis revaskularisasi (PCI primer dengan terapi pada lesi target saja, PCI lesi target plus tambahan segera atau PCI lesi nontarget atau CABG) bergantung operator. Terapi pelayanan intensif telah distandarisasi berdasarkanGerman-Austrian S3 Guideline.
Prosedur yang paling sering digunakan untuk revaskularisasi dini adalah PCI primer (pada 95,8% pasien). Hanya 3,5% pasien dilakukan CABG atau PCI dengan CABG. Revaskularisasi tidak dilakukan pada 3,2% pasien. Durasi median IABP adalah 3 hari (jangkauan interkuartil, 2,0 sampai 4,0; jangkauan 1 sampai 16).
Hasil
Diantara 277 pasien kelompok IABP dan telah dilakukan revaskularisasi, tidak didapatkan perbedaan signifikan tingkat kematian antara 37 pasien (13,4%) yang disisipkan IABP sebelum revaskularisasi dan 240 pasien (86,6%) yang disisipkan IABP setelah revaskularisasi (kematian, 36,4% dan 36,8%, secara berurutan; P=0,96). Dalam hal tingkat keamanan, tidak ada perbedaan signifikan antara kelompok IABP dengan kelompok kontrol dalam tingkat stroke, perdarahan, sepsis, komplikasi iskemik perifer yang membutuhkan intervensi di rumah sakit, tingkat reinfark, dan trombosis sten.
Diantara 277 pasien kelompok IABP dan telah dilakukan revaskularisasi, tidak didapatkan perbedaan signifikan tingkat kematian antara 37 pasien (13,4%) yang disisipkan IABP sebelum revaskularisasi dan 240 pasien (86,6%) yang disisipkan IABP setelah revaskularisasi (kematian, 36,4% dan 36,8%, secara berurutan; P=0,96). Dalam hal tingkat keamanan, tidak ada perbedaan signifikan antara kelompok IABP dengan kelompok kontrol dalam tingkat stroke, perdarahan, sepsis, komplikasi iskemik perifer yang membutuhkan intervensi di rumah sakit, tingkat reinfark, dan trombosis sten.
Kematian pada pasien dengan syok kardiogenik disebabkan karena satu atau lebih faktor berikut: penurunan hemodinamik, terjadi disfungsi multiorgan, dan terjadinya systemic inflammatory response syndrome (SIRS). Percobaan ini memberikan informasi mengenai efek IABP pada faktor-faktor tersebut. Tidak ada peningkatan segera pada tekanan darah maupun denyut jantung pada pasien-pasien yang disisipkan IABP dibandingkan dengan mereka yang tidak disisipkan IABP. Meskipun didapatkan efek positif IABP pada disfungsi multiorgan pada hari ke-2 dan ke-3, dinilai dengan SAPS II, efek ini tidak terbukti pada hari ke-4. Selain itu, tidak ada efek signifikan pada kadar protein C-reaktif atau kadar laktat serum, yang dikenal sebagai ukuran tingkat peradangan dan oksigenasi jaringan.
Penelitian klinis dan eksperimental mengindikasikan bahwa IABP memiliki manfaat hemodinamik sebagai hasil penurunan afterload dan augmentasi diastolik dengan peningkatan perfusi koroner. Namun, efek pada keluaran jantung kecil dan tidak cukup untuk menurunkan tingkat kematian. Pada penelitian terbaru, kecil, dan acak, tidak ada perbedaan signifikan antara pasien IABP dengan kelompok kontrol dalam hal cardiac output, indeks kerja ventrikel kiri, atau tahanan vaskuler sistemik. Secara umum, percobaan acak pada pasien dengan syok kardiogenik komplikasi dari infark miokard akut, yang telah direncanakan revaskularisasi dini, IABP tidak menurunkan tingkat kematian 30 hari.[prz]
Sumber:
1. Thiele, H, Zeymer, U, et al. Intraaortic balloon support for myocardial infarction with cardiogenic shock [citated October, 10 2012]. N Engl J Med 2012; 367:1287-1296. Available from: http://www.nejm.org
2. Gambar diambil dari http://www.herzklinik-muenchen.de/typo3temp/pics/971b242367.jpg dan http://samara-dialog.ru/help/images/eng/iabp.gif
1. Thiele, H, Zeymer, U, et al. Intraaortic balloon support for myocardial infarction with cardiogenic shock [citated October, 10 2012]. N Engl J Med 2012; 367:1287-1296. Available from: http://www.nejm.org
2. Gambar diambil dari http://www.herzklinik-muenchen.de/typo3temp/pics/971b242367.jpg dan http://samara-dialog.ru/help/images/eng/iabp.gif
Tidak ada komentar:
Posting Komentar