Tablet aspirin
Risiko terjadinya kekambuhan pada pasien dengan tromboemboli vena berlangsung selama bertahun-tahun setelah terapi antikoagulan dihentikan. Risiko tinggi terutama pada pasien dengan tromboemboli vena yang tidak diprovokasi, sekitar dua puluh persennya mengalami kekambuhan dalam 2 tahun setelah terapi dengan antagonis vitamin K dihentikan. Terapi dengan agen ini mengurangi risiko kekambuhan tetapi dihubungkan dengan peningkatan risiko perdarahan.
Peran aspirin pada pencegahan primer tromboemboli telah dievaluasi pada berbagai kondisi di klinik. Pada sebuah penelitian, aspirin dihubungkan dengan pengurangan risiko kekambuhan sekitar 20-50%. Manfaat potensial dari terapi antiplatelet pada pencegahan sekunder tromboemboli vena menjadi sebuah kesimpulan dari hasil sebuah penelitian acak yang melibatkan hanya 39 pasien tersebut.
Tujuan penelitian yang diberi nama WARFASA ini adalah untuk menilai manfaat klinis aspirin untuk pencegahan kekambuhan setelah terapi dengan antagonis vitamin K pada pasien dengan tromboemboli vena tidak diprovokasi. Peserta penelitian ini adalah pasien berumur lebih tua dari 18 tahun yang telah diterapi dengan vitamin K antagonis selama 6-18 bulan (dengan target international normalized ratio [INR] 2.0 sampai 3.0) untuk pertama kalinya, secara objektif sudah dikonfirmasi, trombosis vena dalam proksimal, emboli paru, atau keduanya. Tromboemboli vena dianggap tidak diprovokasi apabila tidak ditemukan adanya faktor risiko untuk timbulnya kejadian ini. Pasien diberikan aspirin dengan dosis 100 mg sekali sehari atau plasebo selama 2 tahun.Total 403 pasien telah diacak untuk kelompok penelitian, 205 pasien diberi aspirin, 197 pasien diberi plasebo dan 1 pasien tidak menerima obat plasebo.
Penelitian WARFASA memperlihatkan bahwa pasien dengan tromboemboli vena tanpa provokasi, yang diberikan terapi aspirin mulai 6 sampai 18 bulan setelah pemberian terapi antikoagulan, mengurangi tingkat kekambuhan sekitar 40% dibandingkan plasebo. Manfaat ini dicapai tanpa peningkatan risiko perdarahan mayor.
Pasien dengan tromboemboli vena tanpa provokasi berada pada risiko tinggi kekambuhan setelah terapi antikoagulan oral dihentikan. Terapi antikoagulan jangka panjang mengurangi risiko kekambuhan tetapi hanya sepanjang terapi dilakukan. Pada praktik klinik terapi antikoagulan tidak dilanjutkan saat risiko perdarahan atau ketidaknyamanan melanjutkan pengobatan antikoagulan melampaui risiko kekambuhan. Penelitian ini memperlihatkan bahwa terapi aspirin adalah alternatif potensial untuk terapi antikoagulan oral untuk pencegahan sekunder jangka panjang thromboemboli.
Efektivitas aspirin untuk pencegahan primer dan sekunder tromboemboli vena secara biologis masuk akal karena adanya keterlibatan trombosit pada pembentukkan trombi vena dan adanya peningkatan level penanda trombosit dan aktivasi endotelial pada pasien dengan tromboemboli vena. Dibandingkan dengan plasebo, aspirin tidak dihubungkan dengan peningkatan tingkat perdarahan mayor, yaitu sekitar 0,3% pasien per tahun pada kedua kelompok penelitian. Dosis aspirin yang digunakan adalah dosis rekomendasi untuk pencegahan sekunder kejadian kardiovaskuler atau serebrovaskuler.
Pada penelitian acak aspirin dosis rendah pada berbagai kondisi klinik, insiden perdarahan intrakranial atau ekstrakranial mayor kurang dari 1% per tahun. Tingkat perdarahan mayor warfarin untuk terapi jangka panjang tromboemboli vena diperkirakan sekitar 2% dengan regimen konvensional (INR, 2.0 sampai 3.0). Pada dua penelitian mengenai regimen warfarin intensitas rendah untuk terapi luas tromboemboli vena, tingkat perdarahan mayor adalah 0,9% per pasien per tahun dan 1,1% per pasien per tahun. Perlu dicatat bahwa risiko perdarahan mayor dengan terapi aspirin mungkin lebih besar pada populasi dunia.
Penghambat thrombin oral (dabigatran) dan penghambat faktor Xa oral (rivaroxaban) dievaluasi sebagai terapi untuk tromboemboli vena. Dibandingkan plasebo, agen ini mengurangi risiko kekambuhan tromboemboli vena lebih dari 80%. Kelebihan agen ini dibandingkan dengan antagonis vitamin K adalah bahwa agen ini tidak membutuhkan monitoring laboratorium dan penyesuaian dosis. Seperti yang diharapkan, pengurangan risiko kekambuhan lebih rendah dengan aspirin daripada dengan agen oral baru ini. Seluruh strategi antitrombotik yang ada untuk terapi tromboemboli vena telah dibandingkan dengan plasebo. Tempat aspirin diantara strategi-strategi ini akan dijelaskan pada penelitian-penelitian berikutnya. Namun, aspirin harganya murah dan efek sampingnya sudah diketahui sejak lama.
Warfarin intensitas rendah telah dievaluasi untuk terapi luas tromboemboli vena dan berhubungan dengan 64% pengurangan risiko kekambuhan dibandingkan plasebo. Namun, regimen warfarin masih membutuhkan penyesuaian dosis dan monitoring laboratorium. Penelitian ini menyimpulkan bahwa aspirin yang diberikan setelah terapi antikoagulan pada pasien dengan tromboemboli vena efektif dalam mencegah kekambuhan tanpa meningkatkan risiko perdarahan mayor.
Sumber:
1. Becattini C, Agnelli G. Aspirin for preventing the recurrence of venous thromboembolism [citated October 12, 2012]. N Engl J Med 2012; 366:1959-1967. Available from: http://www.nejm.org
2. Gambar dari http://cardiologyupdateunand.files.wordpress.com/2012/06/aspirin.jpg
1. Becattini C, Agnelli G. Aspirin for preventing the recurrence of venous thromboembolism [citated October 12, 2012]. N Engl J Med 2012; 366:1959-1967. Available from: http://www.nejm.org
2. Gambar dari http://cardiologyupdateunand.files.wordpress.com/2012/06/aspirin.jpg
Tidak ada komentar:
Posting Komentar