Sabtu, 13 Desember 2014

Hari Antikorupsi se-Dunia, Ini Beberapa Upaya Kemendikbud Dukung Gerakan Antikorupsi

tanggal: 
12/09/2014
Intro: 
Hari Antikorupsi Sedunia diperingati setiap tanggal 9 Desember. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menjadi salah satu instansi pemerintah yang mendukung gerakan antikorupsi
Isi: 
Jakarta, Kemendikbud --- Hari Antikorupsi Sedunia diperingati setiap tanggal 9 Desember. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menjadi salah satu instansi pemerintah yang mendukung gerakan antikorupsi, di antaranya melalui kerja sama dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam pendidikan antikorupsi di lembaga pendidikan, hingga membentuk Unit Pengendali Gratifikasi. Semua upaya ini sudah mulai menunjukkan hasil positif. Salah satunya yakni meningkatnya pelaporan gratifikasi di lingkungan Kemdikbud. Untuk itu Kemdikbud diganjar penghargaan dalam Kategori Kepatuhan Laporan Gratifikasi dari KPK.
Menengok perjalanan upaya mendukung gerakan antikorupsi sedikit ke belakang, pada 9 Maret 2012, Mendikbud saat itu, Mohammad Nuh, menandatangani Nota Kesepahaman Bersama (MoU) dengan Ketua KPK, Abraham Samad. MoU ini bertujuan untuk meningkatkan kerja sama dan koordinasi dalam pemberantasan tindak pidana korupsi secara efektif dan efisien sesuai kewenangan masing-masing sebagaimana yang telah ditentukan undang-undang. Ruang lingkup MoU meliputi pendidikan antikorupsi, penelitian dan pengembangan, pertukaran data dan informasi, dan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN).
Di hari yang sama, M. Nuh juga melantik mantan pimpinan KPK, Haryono Umar, sebagai Inspektur Jenderal Kemendikbud. Diharapkan, mantan pimpinan KPK yang dikenal tegas ini mampu menciptakan iklim antikorupsi di Kemendikbud.
Kemudian melalui Ditjen Pendidikan Tinggi (saat itu masih bergabung dengan Kemendikbud), Kemendikbud menyelenggarakan Training of Trainers (TOT) Pendidikan Antikorupsi untuk Perguruan Tinggi di setiap regional. ToT tersebut mulai rutin dilakukan sejak tahun 2012. Tujuan dari TOT Pendidikan Antikorupsi adalah memberikan pembekalan bagi para dosen dan memberikan persepsi yang sama tentang pengertian, penanganan dan pemberantasan korupsi di Indonesia melalui Pendidikan Antikorupsi kepada para Mahasiswa.
Dan bertepatan pada Hari Antikorupsi Sedunia 2013 lalu, Kemendikbud menerima penghargaan dalam Kategori Kepatuhan Laporan Gratifikasi dari KPK. Penghargaan tersebut diberikan KPK karena Kemendikbud dinilai telah menjalankan sistem penyerahan gratifikasi yang tertata dengan baik. Penghargaan yang diberikan KPK itu merupakan rangkaian kegiatan Pekan Antikorupsi, pada 9-11 Desember 2013, di Istora Senayan, Jakarta. (Desliana Maulipaksi)

Foto: 

sulforaphana senyawa antikanker dalam brokoli

Sulforaphane merupakan antioksidan alami dan stimulator detoksifikasi enzim yang telah terbukti dapat mengurangi risiko kanker payudara dan kanker prostat.
Sulforaphane adalah sulfur alami mengandung turunan isotiosianat yang membantu untuk memobilisasi sumber daya alami tubuh manusia yang melawan kanker dan mengurangi risiko kanker berkembang. Sulforaphane terdapat pada tanaman terikat dengan molekul gula: glukosinolat sulforaphane. Hanya setelah makan sulforaphane dengan terlepas. Beberapa jam setelah masuk ke dalam saluran pencernaan, sulforaphane memasuki aliran darah diedarkan secara luas untuk memicu respon sistem kekebalan terhadap karsinogen.
Studi epidemiologis menunjukkan bahwa orang yang makan banyak sayuran telah mengurangi insiden kanker. Uji dengan binatang telah menunjukkan bahwa makan sayuran dapat mengurangi frekuensi, ukuran, dan jumlah tumor. Selama melawan sel-sel kanker tubuh kita memproduksi enzim khusus, disebut enzim fase 2. Sulforaphane adalah fase 2 enzim induser, sehingga menetralkan karsinogen sebelum mereka dapat merusak DNA. Sulforaphane menghambat benzo [a] pyrene-DNA dan 1,6-dinitropyrene-DNA.
Sebuah studi oleh James D. Brooks et al, berjudul Potensi Induksi Enzim Tahap 2 dalam Sel Prostat Manusia oleh Sulforaphane telah menunjukkan bahwa sulforaphane menginduksi ekspresi enzim fase 2 dan aktivitas dalam sel prostat manusia. Studi ini dapat membantu untuk menjelaskan risiko kanker prostat lebih rendah pada pria yang mengkonsumsi sayuran lebih banyak.
Efek antioksidan sulforaphane membantu melawan tekanan darah tinggi. Sebuah studi oleh Tokyo University of Agriculture menunjukkan bahwa orang yang makan sekitar 100 gram tunas brokoli setiap hari selama satu minggu telah mengurangi kadar kolesterol.
Selain itu, ketika dioleskan, sulforaphane dapat melindungi kulit terhadap kerusakan radiasi UV, dan sehingga berpotensi melawan kanker. Sulforaphane dapat menghambat aktivitas deacetylase histon (HDAC). Percobaan awal menunjukkan bahwa sulforaphane dapat melindungi jantung dari peradangan pembuluh darah dan aterosklerosis.
Bahan makanan sumber
Sulforaphane ditemukan dalam kubis brussel, kol, kembang kol, kangkung, sawi, brokoli Cina, brokoli Raab, sawi, lobak, dan selada air. Brokoli adalah salah satu sayuran yang paling populer, mengandung sulforaphane dengan konsentrasi yang relatif tinggi dan terutama bermanfaat dalam detoksifikasi enzim dalam tubuh. Kekurangan brokoli mungkin karena fakta bahwa satu-seperempat dari populasi manusia memiliki “supertaster” gen, yang bertindak di lidah untuk mendeteksi kepahitan dari brokoli.
Sebuah tim peneliti memberi makan ekstrak tunas brokoli selama tiga hari untuk kelompok tikus yang sebelumnya telah diberi dimethylbenzanthracene, sebuah karsinogen kuat. Tikus yang diberi ekstrak, tumor yang berkembang lebih sedikit sedangkan pada tikus yang tidak diberi ekstrak, tumor yang tumbuh memiliki ukuran lebih kecil dan waktu perkembangannya lebih lama. Studi-studi berikutnya menunjukkan bahwa kecambah brokoli mengandung 20 sampai 50 kali jumlah fitokimia kemoprotektif yang ditemukan di kepala brokoli matang.
Para peneliti di Johns Hopkins University School of Medicine telah mengupayakan untuk menyediakan sediaan brokoli yang diberi nama Brocco Sprouts yang menjamin tingkat yang konsisten dari sulforaphane. Menurut Johns Hopkins, makan hanya satu ons tunas brokoli dapat menyediakan sulforaphane sebanyak lebih dari satu pon brokoli yang dimasak.
Jika makan dalam jumlah yang sehat dari sayuran tidak menarik, cobalah menambahkan kecambah brokoli untuksandwich atau salad. Tunas brokoli tidak perlu dimakan setiap hari untuk memberikan efek penuh. Satu porsi satu ons tunas yang baik selama tiga hari efek perlindungan penuh dari sulforaphane sebanding dengan suplemen antioksidan terbaik di pasar. [primz, dari berbagai sumber]
Sumber:
1. Huff, EA. 2010. Powerful compound in broccoli, cruciferous vegetables proven to prevent [citated October 24, 2010]. Available from: http://www.NaturalNews.com/030163_sulforaphane_cancer.html
2. Baker S. 2009. What is Sulforaphane? [citated October 1, 2010].
5.dr prima

longsor

Jumlah korban meninggal akibat bencana longsor di Dusun Jemblungan, Desa Sampang, Kecamatan Karangkobar, Banjarnegara, masih simpang siur. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Sabtu pagi, 13 Desember 2014, merilis delapan orang meninggal. Namun data versi relawan, hingga Sabtu siang, mencapai puluhan. (Longsor Banjarnegara, 100 Warga Masih Hilang)

"Tim kami melaporkan sudah ada 53 warga meninggal dunia, berdasarkan informasi sampai Sabtu siang ini," kata Sekretaris Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah, Awaluddin kepada Tempo. (Bencana Longsor Banjarnegara, 8 Orang Tewas)

PCNU Kabupaten Banjarnegara, sejak Jumat malam, telah menurunkan 75 personil relawan untuk membantu evakuasi. Mereka mendirikan sedikitnya tiga posko penanganan di lokasi. (Tangani Longsor, Ganjar Pranowo Naik Helikopter)

Menurut Awaluddin, dari total 118 kepala keluarga di Dusun Jemblungan, sekitar 100 orang belum ditemukan. "Data korban yang masih dicari itu kurang update," katanya. (Longsor Banjarnegara, 3 Tewas dan 105 Rumah Hancur)

Ia menceritakan, longsor terjadi pada Jumat petang. Tebing setinggi kurang lebih 40 meter ambruk menimpa warga yang baru saja melakukan ibadah salat maghrib. "Tidak sempat keluar dan di dalam rumah semua karena hujan deras,"

atas nama pribadi penulis prihatin atas kejadian longsor dan banjir di banjarnegara.
semoga kepada keluarga korban di berikan ketabahan dan kekuatan.

longsor di karangkobar

Longsor terjadi di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah, Jumat, 12 Desember 2014, pukul 18.00 WIB. Longsor ini menimpa perumahan warga di Dusun Jemblung, Desa Sampang, Kecamatan Karangkobar yang sebelumnya dilanda hujan deras.

Juru bicara Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho mengatakan tiga warga ditemukan tewas, tiga orang mengalami luka berat dan 13 orang luka ringan yang kini dirawat di rumah sakit. Sekitar 105 unit rumah diperkirakan tertimbun longsor. (Baca: Korban Tewas Longsor Banjarnegara Bertambah.)

Menurut Sutopo, hujan deras, suasana gelap, serta ancaman longsor susulan menyebabkan evakuasi sulit dilakukan. "Selain itu komunikasi juga sulit karena tidak ada sinyal," katanya kepada Tempo.

Selain di Karangkobar, bencana longsor terjadi di Wanayasa Banjarnegara dan di Wonosobo.
Sutopo menjelaskan, longsor terjadi di Wanayasa pada Kamis, 11 Desember 2014. menyebabkan pengungsi menjadi 379 jiwa. Pengungsi tersebar di beberapa daerah, seperti Dusun Puncil Desa Karangtengah, Dusun Wadas Desa Pandansari, Desa Dawuhan, Desa Ngasinan Kecamatan Pejawaran, dan di Desa Sijeruk Kecamatan Banjarmangu. akibat bencana ini, Suheri, 65 tahun, warga desa Sidengok, Kecamatan Pejawaran, tewas tertimpa longsor.

Di Wonosobo, akibat bencana tanah longsor pada Kamis, 11 Desember 2014, telah ditemukan korban meninggal dunia Taroni, 60 tahun, disebabkan tertimbun longsor tebing di ladang. Korban ditemukan di tumpukan tanah yang terkena longsoran, Jumat, pukul 10.00 WIB. (Baca: Musim Longsor, Jauhi Obyek Wisata Bertebing.)

Sebelum Longsor Banjarnegara, Jalanan Ambles


Bencana longsor hebat yang terjadi di Dusun Jemblungan, Desa Sampang, Kecamatan Karangkobar, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah, Jumat kemarin, diawali dengan amblesnya beberapa jalan desa. (Warga 'Tonton' Longsor Banjarnegara Sambil Panik)

Menurut tokoh masyarakat Desa Gumelar, Kecamatan Karangkobar, Banjarnegara, Muhamad Sukarjo, 40 tahun, longsor kecil terjadi di jalan desa sejak pukul 17.00 WIB. "Malah pas kejadian longsor besar, hujan belum deras," katanya saat dihubungi Tempo, Sabtu, 13 Desember 2014. (Longsor Banjarnegara, Kemensos Andalkan Stok Gudang)

Desa Gumelar berjarak sekitar empat kilometer dari Desa Sampang, lokasi longsor besar. Sukarjo bergegas menuju lokasi kejadian ketika mendengar bencana menimpa dusun desa tetangganya. (Longsor Banjarnegara, Relawan Sulit Evakuasi)

Kyai yang menjadi Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama Banjarnegara itu kaget luar biasa. Sebab, ia melihat hanya tersisa lima rumah warga yang masih tampak berdiri. "Rumah-rumah lain habis tertutup tanah. Listrik langsung mati. Orang berteriak-teriak," katanya. (Longsor Banjarnegara, Kemensos Kerahkan Taruna)

Sukarjo menduga, longsor besar itu terjadi karena goncangan badan jalan di sisi tebing yang ambles akibat dilintasi banyak kendaraan besar. Jalan di sisi tebing itu sempat ditutup, pagi hari. Namun dibuka kembali karena dinilai sudah aman. (Relawan: Puluhan Korban Tewas Longsor Banjarnegara)

"Tiga warga Desa Gumelar ditemukan tewas tertimbun longsor persis di bawah tebing, saat melintas. Bukan di dalam rumah," katanya. (Longsor Banjarnegara, 100 Warga Masih Hilang)

Menurut Sukarjo, korban hilang asal Desa Gumelar semula dilaporkan lima orang. Diduga, saat itu mereka sedang melintasi jalan Dusun Jemblungan, jalan tembus menuju jalan raya Banjarnegara-Pekalongan. (Bencana Longsor Banjarnegara, 8 Orang Tewas)

"Warga yang ditemukan meninggal dikubur siang ini. Dua lagi masih kami cari bersama relawan." (Tangani Longsor, Ganjar Pranowo Naik Helikopter)

banjir meluap sungai serayu

Wonosobo, - Hujan deras yang terus turun di wilayah Wonosobo, Jawa Tengah, membuat debit Sungai Serayu dan Sungai Mrawu meluap dan masuk ke Waduk Mrica, di Banjarnegara. Untuk mengurangi debit air tersebut, pintu air di Waduk Mrica dibuka yang berimbas pada tergenangnya rumah warga di dua desa di Kecamatan Susukan, Banjarnegara.

"Ada 14 rumah dari 17 kepala keluarga di dua RT yang berada di Grumbul Kalimati, Desa Karangjati saat ini rumahnya terendam dengan ketinggian 50-70 centimeter," kata Kades Karangjati, Kusyati, Kamis (11/12/2014).

Menurut dia, air mulai masuk pemukiman warga yang berada di dekat aliran Sungai Serayu sekitar pukul 14.30 WIB, namun air mulai meninggi pada pukul 16.00 WIB. Warga yang rumahnya terendam saat ini mengungsi kerumah warga di sekitar Grumbul.

"Begitu air meninggi, warga langsung mengemasi barang-barangnya menggunakan perahu karet dan mengungsi ke rumah warga yang tidak terendam," ujarnya.

Menurut kordinatir Pos AJU BPBD Banjarnegara, Andri Sulistyo, selain di Desa Karangjati, luapan sungai Serayu juga merendam Desa Darmajati, Kecamatan Susukan. "Ada 6 rumah yang terendam," ujarnya.

Sementara menurut Manager Humas PT Indonesia Power Unit Bisnis Pembangkit Mrica, Samhudi saat dikonfirmasi mengatakan jika pintu air Waduk Mrica saat ini masih dalam kondisi aman normal. Meskipun akibat curah hujan yang tinggi dari wilayah Wonosobo membuat debit air di waduk Mrica naik sehingga membuat pintu air waduk dibuka dan menyebabkan banjir di dua Desa di Kecamatan Susukan.

"Kondisinya masih aman normal, memang ada kenaikan debit air karena hujan deras di wilayah Wonosobo sehingga pintu air dibuka," kata Samhudi.
Dia mengungkapkan, pintu air Waduk Mrica dilengkapi alat yang akan membuka secara otomatis ketika debit air yang berada di waduk mulai meninggi. Dia juga meminta warga agar tidak panik akibat kabar yang beredar di sosial media jika Waduk Mrica jebol.

"Waduk Mrica dilengkapi alat yang secara otomatis akan membuka saat air meninggi. Warga saya harap tetap tenang karena kondisi waduk saat ini masih aman normal," jelasnya.

Sedangkan menurut anggota Dewan Sumber Daya Air Jawa Tengah, Eddy Wahono mengatakan jika ketinggian elevasi air Serayu di Waduk Mrica mengalami peningkatan elevasi hingga 2 meter dari kondisi normal.

''Informasinya, pihak PT Indonesia Power pengendali waduk Mirca sudah membuka semua pintu air yang jumlahnya ada 4 pintu air. Hal ini menyebabkan adanya gelontoran air dari Serayu sebanyak 1.600 meter kubik per detik,'' jelasnya.

Terkait pembukaan seluruh pintu air Waduk Mrica dan juga pasokan air dari Sungai Klawing dan Sungai Sapi dari hulu di Purbalingga yang juga mengalami peningkatan debit, maka daerah di sekitar DAS dan jembatan Serayu di wilayah DAS Serayu wilayah Banjarnegara, DAS Serayu wilayah Purbalingga, dan DAS Serayu wilayah Kabupaten Banyumas ditetapkan dalam status bahaya Siaga I.

''Kita sudah berkoordinasi dengan berbagai pihak terkait di tiga kabupaten tersebut untuk bersama-sama meningkatkan kewaspadaan,'' ujarnya.

Dia menyebutkan, limpahan air Sungai Serayu dari Waduk Mrica kemungkinan akan masuk wilayah Kabupaten Banyumas pada pukul 21.00 WIB. Terkait kondisi ini, hal-hal yang perlu diwaspadai adalah kondisi-kondisi jembatan yang membentang di atas Sungai Serayu dan juga kondisi di Bendung Gerak Serayu Desa Tambaknegara, Kecamatan Rawalo, Kabupaten Banyumas.

Meluap, Sungai Serayu rendam puluhan rumah warga di Banjarnegara

Merdeka.com - Sebanyak 21 rumah yang berada di Desa Karangjati dan Dermajati Kecamatan Susukan Banjarnegara Jawa Tengah terendam air Sungai Serayu. Akibatnya, belasan keluarga yang berada di wilayah tersebut mengungsi ke tempat yang lebih aman.

Kepala Desa Karangjati Kecamatan Susukan, Kusyati mengatakan saat ini di wilayahnya terdapat 14 rumah yang dihuni 17 keluarga terendam akibat banjir dari Sungai Serayu. "Tadi sekitar pukul 14.30 WIB air sudah memasuki rumah warga di sekitar aliran Sungai Serayu. Kemudian air semakin membesar pada pukul 16.00 WIB," ujarnya saat dihubungi, Kamis (11/12).

Dari informasi yang didapat Kusyati, banjir tersebut terjadi akibat dibukanya pintu air yang berasal dari Waduk Mrican Banjarnegara. "Tinggi airnya sampai lebih dari satu meter. Saat ini, kami sudah menurunkan perahu karet untuk melakukan evakuasi barang-barang milik warga," ucapnya.

Dia mengemukakan, banjir tersebut tidak meluas ke seluruh desa. Banjir tersebut hanya terjadi di grumbul Kalimati yang dekat dengan aliran Sungai Serayu. "Kejadian ini juga terjadi di beberapa desa tetangga, tetapi kami tidak tahu persis seperti apa," jelasnya.

Sementara itu, Koordinator Posko AJU BPBD Banjarnegara, Andri Sulistio mengemukakan Waduk Mrica memang harus dibuka pintu airnya agar tidak jebol. "Pembukaan pintu air ini memang berimbas pada rumah warga yang berada di Kecamatan Susukan," ucapnya.

Selain itu, ia juga melaporkan di wilayah Kecamatan Karangkobar, setidaknya ada ruas jalan yang rusak akibat longsor yang terjadi. Longsor tersebut mengakibatkan ruas jalan Karangkobar-Banjarmangu tidak bisa dilalui kendaraan dan kemungkinan mengisolasi warga yang berada di wilayah Karangkobar dan sekitarnya.
Baca juga:

Kamis, 11 Desember 2014

implan Gigi Sel Punca Tumbuhkan Gigi Baru dalam Mulut


Dr. Jeremy Mao telah menemukan sebuah teknik peletakkan sel punca ke dalam sebuah rangka yang akan membantu proses regenerasi gigi baru.
Rangka tiga dimensi tempat pertumbuhan sel punca
Hilangnya gigi adalah suatu bentuk deformitas minor dan sebuah penyebab nyeri yang mayor. Meskipun implan gigi sudah tersedia, proses penyembuhan dapat menghabiskan waktu beberapa bulan sampai sembuh. Dan implan yang gagal bersatu dengan tulang rahang yang tumbuh terus menerus cenderung untuk lepas.
Berdasarkan sebuah penelitian yang dipublikasikan di Journal of Dental Research, teknik regenerasi jaringan baru akan memudahkan orang untuk menumbuhkan kembali set baru lapisan putih mutiara.
Dr. Jeremy Mao, Profesor Kedokteran Gigi di Columbia University Medical Center telah membuat rangka tiga dimensi dengan faktor pertumbuhan di dalamnya yang memiliki kemampuan melakukan regenerasi anatomi gigi yang benar hanya dalam sembilan minggu setelah implantasi. Dengan menggunakan prosedur yang dikembangkan di Laboratorium Kedokteran Regenerasi dan Teknik Jaringan milik universitas, Dr. Mao dapat menyimpan sel punca yang berasal dari tubuh sendiri di sebuah rangka yang terbuat dari bahan alami. Sekali sel punca tersebut telah berkolonisasi di dalam rangka, gigi dapat tumbuh pada soket dan kemudian bergabung dengan jaringan sekitarnya.
Teknik dr. Mao tidak hanya mengurangi kebutuhan untuk menumbuhkan gigi di cawan Petri, tetapi juga merupakan metode pertama yang efektif untuk mendapatkan regenerasi dari anatomi gigi yang benar dengan menggunakan sumber daya dari tubuh sendiri. Faktor waktu pemulihan lebih cepat dan dari segi prosesnya lebih alami (berlawanan dengan implantasi gigi) serta secara massal akan mengundang banyak orang untuk melakukan perawatan gigi.
Universitas Kolumbia telah mendaftarkan paten terhadap teknologi ini dan sedang mencari perusahaan untuk membantu proses komersialisasinya. Sementara itu, dr. Mao saat ini sedang mengembangkan bagaimana pendekatan terbaik untuk mengaplikasikan tekniknya untuk diterapkan menjadi terapi klinik yang murah. [primz]
Sumber:
1. Ngo D. 2010. Stem-cell dental implants grow new teeth right in your mouth [citated June 12, 2010]. Columbia University Medical Center.
2. Gambar diambil dari: http://images.gizmag.com/hero/implant.jpg
3. dr prima

Asetaminofen Meningkatkan Risiko Asma pada Anak



Asetaminofen adalah obat yang terpercaya untuk mengobati demam dan nyeri, tetapi studi epidemiologis memperlihatkan bahwa asetaminofen dihubungkan dengan risiko tinggi asma baik pada anak maupun dewasa.

Asetaminofen, atau paracetamol, adalah obat yang paling banyak digunakan di seluruh dunia, karena dianggap efektif untuk mengobati demam dan nyeri dan juga relatif aman. Hal keamanan sangat penting terutama pada anak-anak, yang lebih rentan mengalami efek samping berhubungan dengan pengobatan.
Alasan utama untuk pengobatan dengan asetaminofen adalah demam, yang merupakan gejala akut paling sering dialami anak-anak dan alasan paling sering untuk masuk unit emergensi pediatrik. Banyak orang tua memberikan antipiretik secara tidak tepat kepada anak-anak, padahal suhu tubuh mereka kurang dari 37 C.
Penggunaan obat asetaminofen untuk mengobati nyeri dan demam pada anak sudah secara luas digunakan. Penelitian dari Jerman menemukan bahwa sekitar 9% dari seluruh anak telah diberikan beberapa pengobatan untuk satu dari indikasi itu selama 1 minggu dan proporsi ini semakin meningkat hingga 17,5 % pada anak-anak yang mengalami nyeri. Asetaminofen, ibuprofen, dan aspirin adalah analgesik yang paling sering digunakan.
Keraguan mengenai keamanan asetaminofen pada anak terus meningkat, sebagian besar karena risiko mengi dan asma  yang dihubungkan dengan penggunaan obat ini, Penelitian observasional terbaru telah menemukan hubungan signifikan antara asetaminofen dan asma. Pada sebuah penelitian melibatkan 322.959 orang dewasa dari 50 negara, penggunaan asetaminofen dihubungkan dengan odds ratio gejala asma 1,49 (interval confidence 95%). Penggunaan asetaminofen juga dihubungkan dengan risiko tinggi penyakit atopik seperti eksim dan rinokonjungtivitis.
Penelitian pada anak yang lebih muda dari studi kohort yang sama ditmeukan bahwa pengobatan dengan parasetamol selama tahun pertama kehidupan meningkatkan risiko gejala asma sebesar 46%. Bahkan, ada hubungan positif yang berkaitan dengan dosis antara penggunaan parasetamol dan gejala asma pada anak-anak tersebut, penggunaan parasetamol juga dihubungkan dengan risiko tinggi eksim dan rinokonjungtivitis.
Penemuan-penemuan ini dilengkapi dengan penelitian dari populasi anak di Ethiopia. Asetaminofen digunakan pada umur 1 tahun berhubungan positif berkaitan dosis dengan peningkatan risiko mengi pada umur 1 sampai 3 tahun, risiko 7 kali lipat lebih tinggi pada anak yang menerima paling sedikit 4 tablet dalam 1 bulan.
Beberapa penelitian memperlihatkan asetaminofen dapat meningkatkan risiko insiden asma pada dewasa. Analisis Studi Kesehatan Perawat, yang melibatkan 121.700 perempuan di Amerika Serikat, menemukan bahwa rasio tingkat multivariat untuk asma pada perempuan yang menggunakan asetaminofen untuk lebih dari 14 per bulan adalah 1,63 (95% interval confidence).
Kajian sistematik juga memperlihatkan bahwa asetaminofen dapat memicu asma dan mengi. Kajian 19 penelitian dengan total lebih dari 425.000 anak dan dewasa menemukan odds ratio asma 1,63 (interval confidence 95%) pada para pengguna asetaminofen. Risiko asma sama pada dewasa dan anak dan penelitian ini juga memperlihatkan bahwa penggunaan asetaminofen prenatal meningkatkan risiko asma dan mengi.
Akhirnya, metaanalisis dari hanya percobaan acak terkontrol menyimpulkan bahwa asetaminofen merupakan faktor risiko gejala mengi dan asma.
Kajian Sebab Akibat
Hubungan sebab akibat langsung antara penggunaan asetaminofen dan asma di seluruh dunia lebih dari 30 tahun tidak dapat dibuktikan. Banyak penelitian yang memperlihatkan hubungan antara asetaminofen dengan asma terbatas oleh faktor penyerta. Anak-anak yang menerima asetaminofen saat mereka sakit dan lebih rentan terhadap gejala mengi dan asma dan anak-anak dengan asma lebih sering mengalami infeksi pernapasan atas disebabkan virus dan membutuhkan pengobatan dengan antipiretik dan analgesik. Dokter dan orang tua lebih sering menggunakan asetaminofen dibandingkan ibuprofen dan aspirin pada anak dengan gejala mengi dan asma karena risiko efek samping yang lebih kecil dari asetaminofen.
Faktanya, asetaminofen tidak lebih aman dari ibuprofen pada anak-anak, terutama dengan gejala mengi dan asma. Pada sebuah percobaan acak melibatkan 1879 anak dengan asma, pengobatan dengan ibuprofen dihubungkan dengan tingkat kunjungan pasien yang lebih rendah dibandingkan terapi dengan asetaminofen. Ada tren yang tidak signifikan tentang risiko perawatan di rumah sakit yang lebih rendah pada kelompok yang menggunakan ibuprofen.
OAINS seperti ibuprofen dihubungkan dengan efek samping lain seperti perdarahan gastrointestinal dan komplikasi ginjal. Namun, metaanalisis dari 24 percobaan acak terkontrol menemukan bahwa ibuprofen dan asetaminofen tidak dihubungkan dengan peningkatan signifikan efek samping dibandingkan dengan plasebo atau dengan masing-masing
Telah dijelaskan pada penelitian dan kumpulan data memperlihatkan bahwa asetaminofen memicu mengi dan asma, ibuprofen dianggap pilihan paling aman untuk pengobatan dbandingkan dengan asetaminofen. Ada banyak percobaan acak terkontrol mengenai asetaminofen dan ibuprofen, sendiri-sendiri atau kombinasi, untuk mengobati demam pada anak.
Menambahkan asetaminofen pada ibuprofen tidak menunjukkan penambahan manfaat pada pengelolaan demam anak. Pada sebuah percobaan, kombinasi ibuprofen ditambah asetaminofen menghasilkan demam 1 jam lebih sedikit dibandingkan dengan asetaminofen tunggal selama 4 jam setelah pemberian, tetapi waktu total demam sama pada terapi kombinasi versus kelompok terapi ibuprofen saja. Waktu hilangnya demam juga sama baik dengan ibuprofen saja dibandingkan dengan terapi kombinasi.
Kajian beberapa penelitian membandingkan ibuprofen, asetaminofen, dan kombinasi pengobatan untuk demam pada anak memperlihatkan bukti kecil bahwa terapi kombinasi meningkatkan keluaran klinis secara substansial. Terapi kombinasi lebih efektif mengurangi demam setelah 4 jam dibandingkan dengan ibuprofen atau asetaminofen saja dan rasa tidak nyaman anak dengan terapi kombinasi. Juga tingkat efek samping akut sama baik pada terapi obat individual versus kombinasi.
Kesimpulan, asetaminofen adalah pengobatan yang paling banyak digunakan di seluruh dunia. Orang tua sering memberikan obat asetaminofen bahkan pada yang tidak demam. Penelitian epidemiologis memperlihatkan asetaminofen meningkatkan risiko mengi dan asma pada anak, sama dengan sebuah penelitian pada perempuan dewasa. Kajian sistematik mengkonfirmasi hubungan positif antara penggunaan asetaminofen dan risiko asma. Menambahkan asetaminofen pada ibuprofen untuk pengobatan demam anak memberikan manfaat tambahan yang sedikit. Kajian terbaru melarang penggunaan asetaminofen pada anak asma atau risiko tinggi asma. Ibuprofen merupakan pilihan paling aman untuk mengobati demam dan nyeri pada anak.
Sumber:
1. Charles P. Vega, MD; Veena Kulchaiyawat, DO. Acetaminophen and Asthma: A Bad Marriage A Best Evidence Review [citated May 7, 2012]. Available from: http://www.medscape.com/viewarticle/762702
3. dr. prima

Efek Pemasangan Balon Intraaorta pada Pasien Infark Miokard dengan Syok Kardiogenik


Tingkat kematian pada pasien-pasien dengan syok kardiogenik sebagai komplikasi infark miokard akut cukup tinggi bahkan setelah dilakukan revaskularisasi dini dengan percutaneous coronary intervention (PCI) atau coronary artery bypass grafting (CABG)
Intraaortic balloon counterpulsation adalah bentuk bantuan hemodinamik yang paling sering diberikan pada pasien infark miokard akut dengan komplikasi syok kardiogenik. Berdasarkan panduan Eropa dan Amerika Serikat, penggunaan balon intraaorta pada terapi syok kardiogenik diklasifikasikan kelas IB dan IC. Namun, bukti ilmiahnya hanya diambil dari rekam medis dan masih kurang percobaan acak yang mendukung. Metaanalisis yang dimasukkan hanya penelitian kohort yang menyatakan bahwa penggunaan pompa balon intraaorta dihubungkan dengan penurunan sebesar 11% risiko kematian.
Pada penelitian penggunaan pompa balon intraaorta pada syok kardiogenik (IABP-SHOCK) yang melibatkan hanya 45 pasien, tidak ada perbedaan signifikan yang ditemukan dalam hal keparahan penyakit (dengan menggunakan skor APACHE II) antara pasien yang diberikan IABP dengan kelompok kontrol yang menerima pelayanan standar, meskipun kadar BNP serial menurun secara signifikan pada kelompok IABP. Bukti yang tidak meyakinkan tersebut mungkin menjadi penjelasan mengapa penggunaan IABP hanya 25-40% dari pasien dengan syok kardiogenik, tidak sesuai dengan yang direkomendasikan.
Percobaan IABP-SHOCK II dibuat untuk menguji hipotesis bahwa IABP dibandingkan dengan terapi terbaik yang tersedia, menurunkan tingkat kematian pada pasien-pasien infark miokard akut dengan komplikasi syok kardiogenik yang telah direncanakan revaskularisasi dini. Percobaan IABP-SHOCK II merupakan penelitian yang multisenter dan acak. Rancangan penelitian telah dipublikasikan sebelumnya. Penelitian telah dirancang oleh penulis pertama, dimodifikasi oleh panitia pengarah (SC), dan akhirnya diterima oleh komite etik pada setiap senter yang terlibat.
Pasien yang disertakan untuk penelitian ini adalah mereka yang mengalami infark miokard akut (dengan atau tanpa elevasi segmen ST) dengan komplikasi syok kardiogenik dan telah direncanakan untuk revaskularisasi dini (dengan PCI atau CABG). Pasien dianggap mengalami syok kardiogenik jika dia memiliki tekanan darah sistolik kurang dari 90 mmHg selama lebih dari 30 menit atau memerlukan infus katekolamin untuk menjaga tekanan sistolik di atas 90 mmHg, mempunyai tanda klinis bendungan paru, dan perfusi organ akhir yang terganggu. Diagnosis perfusi organ akhir yang terganggu harus memenuhi paling sedikit satu dari tanda berikut: perubahan status mental, dingin, kulit dan ekstremitas lembab, oliguria dengan keluaran urin kurang dari 30 ml per jam, atau kadar laktat serum lebih tinggi daripada 2,0 mmol per liter.
Pasien tidak memenuhi syarat untuk mengikuti penelitian ini bila mereka telah diresusitasi lebih dari 30 menit, tidak memiliki aksi jantung intrinsik, dalam keadaan koma dengan dilatasi pupil menetap yang tidak diinduksi obat, memiliki penyebab mekanik syok kardiogenik (seperti defek septal ventrikuler atau ruptur otot papiler), mempunyai onset syok lebih dari 12 jam sebelum skrining, mempunyai embolisme paru masif, penyakit arteri perifer berat yang menghalangi penyisipan IABP, regurgitasi aorta dengan keparahan lebih dari grade II (pada skala I sampai IV, dengan grade yang lebih tinggi menandakan regurgitasi yang lebih berat), umur lebih tua dari 90 tahun, dalam keadaan syok sebagai hasil kondisi di luar infark miokard akut, mempunyai penyakit penyerta berat yang dihubungkan dengan harapan hidup kurang dari 6 bulan. Pasien dengan syok kardiogenik yang tidak memenuhi syarat untuk diacak dimasukan ke rekam medis. Seluruh pasien atau wakil yang sah secara hukum mengisi inform consent.
Pasien yang memenuhi syarat diacak dengan perbandingan 1:1, antara pasien yang dilakukan IABP atau tanpa IABP (kelompok kontrol). Pengacakan dilakukan secara terpusat dengan program berbasis internet.
Terapi
Pompa balon intraorta dimasukan baik sebelum PCI atau segera setelah PCI, dengan waktu penyisipan bergantung pada penyidik. Bantuan dimulai dengan penggunaan 1:1 pemicu EKG (seperti inflasi dan deflasi balon dipicu oleh gelombang R) dan dijaga sampai tercapai stabilisasi hemodinamik, yang didefinisikan sebagai tekanan darah sistolik lebih dari 90 mmHg selama lebih dari 30 menit tanpa katekolamin. Pencabutan pompa dilakukan bila didapatkan penurunan trigger ratio. Pertukaran pasien antara kelompok kontrol dengan kelompok IABP diperbolehkan jika hanya ada komplikasi mekanik (defek septum ventrikel atau ruptur otot papiler) yang terjadi setelah pengacakan.
Seluruh pasien menjalani revaskularisasi dini dan menerima terapi pengobatan terbaik yang tersedia berdasarkan panduan. Jenis revaskularisasi (PCI primer dengan terapi pada lesi target saja, PCI lesi target plus tambahan segera atau PCI lesi nontarget atau CABG) bergantung operator. Terapi pelayanan intensif telah distandarisasi berdasarkanGerman-Austrian S3 Guideline.
Prosedur yang paling sering digunakan untuk revaskularisasi dini adalah PCI primer (pada 95,8% pasien). Hanya 3,5% pasien dilakukan CABG atau PCI dengan CABG. Revaskularisasi tidak dilakukan pada 3,2% pasien. Durasi median IABP adalah 3 hari (jangkauan interkuartil, 2,0 sampai 4,0; jangkauan 1 sampai 16).
Hasil
Diantara 277 pasien kelompok IABP dan telah dilakukan revaskularisasi, tidak didapatkan perbedaan signifikan tingkat kematian antara 37 pasien (13,4%) yang disisipkan IABP sebelum revaskularisasi dan 240 pasien (86,6%) yang disisipkan IABP setelah revaskularisasi (kematian, 36,4% dan 36,8%, secara berurutan; P=0,96). Dalam hal tingkat keamanan, tidak ada perbedaan signifikan antara kelompok IABP dengan kelompok kontrol dalam tingkat stroke, perdarahan, sepsis, komplikasi iskemik perifer yang membutuhkan intervensi di rumah sakit, tingkat reinfark, dan trombosis sten.
Kematian pada pasien dengan syok kardiogenik disebabkan karena satu atau lebih faktor berikut: penurunan hemodinamik, terjadi disfungsi multiorgan, dan terjadinya systemic inflammatory response syndrome (SIRS). Percobaan ini memberikan informasi mengenai efek IABP pada faktor-faktor tersebut. Tidak ada peningkatan segera pada tekanan darah maupun denyut jantung pada pasien-pasien yang disisipkan IABP dibandingkan dengan mereka yang tidak disisipkan IABP. Meskipun didapatkan efek positif IABP pada disfungsi multiorgan pada hari ke-2 dan ke-3, dinilai dengan SAPS II, efek ini tidak terbukti pada hari ke-4. Selain itu, tidak ada efek signifikan pada kadar protein C-reaktif atau kadar laktat serum, yang dikenal sebagai ukuran tingkat peradangan dan oksigenasi jaringan.
Penelitian klinis dan eksperimental mengindikasikan bahwa IABP memiliki manfaat hemodinamik sebagai hasil penurunan afterload dan augmentasi diastolik dengan peningkatan perfusi koroner. Namun, efek pada keluaran jantung kecil dan tidak cukup untuk menurunkan tingkat kematian. Pada penelitian terbaru, kecil, dan acak, tidak ada perbedaan signifikan antara pasien IABP dengan kelompok kontrol dalam hal cardiac output, indeks kerja ventrikel kiri, atau tahanan vaskuler sistemik. Secara umum, percobaan acak pada pasien dengan syok kardiogenik komplikasi dari infark miokard akut, yang telah direncanakan revaskularisasi dini, IABP tidak menurunkan tingkat kematian 30 hari.[prz]
Sumber:
1. Thiele, H, Zeymer, U, et al. Intraaortic balloon support for myocardial infarction with cardiogenic shock [citated October, 10 2012]. N Engl J Med 2012; 367:1287-1296. Available from: http://www.nejm.org
2. Gambar diambil dari http://www.herzklinik-muenchen.de/typo3temp/pics/971b242367.jpg dan http://samara-dialog.ru/help/images/eng/iabp.gif

Aspirin Mencegah Kekambuhan Tromboemboli Ven


Tablet aspirin
Risiko terjadinya kekambuhan pada pasien dengan tromboemboli vena berlangsung selama bertahun-tahun setelah terapi antikoagulan dihentikan. Risiko tinggi terutama pada pasien dengan tromboemboli vena yang tidak diprovokasi, sekitar dua puluh persennya mengalami kekambuhan dalam 2 tahun setelah terapi dengan antagonis vitamin K dihentikan. Terapi dengan agen ini mengurangi risiko kekambuhan tetapi dihubungkan dengan peningkatan risiko perdarahan.
Peran aspirin pada pencegahan primer tromboemboli telah dievaluasi pada berbagai kondisi di klinik. Pada sebuah penelitian, aspirin dihubungkan dengan pengurangan risiko kekambuhan sekitar 20-50%. Manfaat potensial dari terapi antiplatelet pada pencegahan sekunder tromboemboli vena menjadi sebuah kesimpulan dari hasil sebuah penelitian acak yang melibatkan hanya 39 pasien tersebut.
Tujuan penelitian yang diberi nama WARFASA ini adalah untuk menilai manfaat klinis aspirin untuk pencegahan kekambuhan setelah terapi dengan antagonis vitamin K pada pasien dengan tromboemboli vena tidak diprovokasi. Peserta penelitian ini adalah pasien berumur lebih tua dari 18 tahun yang telah diterapi dengan vitamin K antagonis selama 6-18 bulan (dengan target international normalized ratio [INR] 2.0 sampai 3.0) untuk pertama kalinya, secara objektif sudah dikonfirmasi, trombosis vena dalam proksimal, emboli paru, atau keduanya. Tromboemboli vena dianggap tidak diprovokasi apabila tidak ditemukan adanya faktor risiko untuk timbulnya kejadian ini. Pasien diberikan aspirin dengan dosis 100 mg sekali sehari atau plasebo selama 2 tahun.Total 403 pasien telah diacak untuk kelompok penelitian, 205 pasien diberi aspirin, 197 pasien diberi plasebo dan 1 pasien tidak menerima obat plasebo.
Penelitian WARFASA memperlihatkan bahwa pasien dengan tromboemboli vena tanpa provokasi, yang diberikan terapi aspirin mulai 6 sampai 18 bulan setelah pemberian terapi antikoagulan, mengurangi tingkat kekambuhan sekitar 40% dibandingkan plasebo. Manfaat ini dicapai tanpa peningkatan risiko perdarahan mayor.
Pasien dengan tromboemboli vena tanpa provokasi berada pada risiko tinggi kekambuhan setelah terapi antikoagulan oral dihentikan. Terapi antikoagulan jangka panjang mengurangi risiko kekambuhan tetapi hanya sepanjang terapi dilakukan. Pada praktik klinik terapi antikoagulan tidak dilanjutkan saat risiko perdarahan atau ketidaknyamanan melanjutkan pengobatan antikoagulan melampaui risiko kekambuhan. Penelitian ini memperlihatkan bahwa terapi aspirin adalah alternatif potensial untuk terapi antikoagulan oral untuk pencegahan sekunder jangka panjang thromboemboli.
Efektivitas aspirin untuk pencegahan primer dan sekunder tromboemboli vena secara biologis masuk akal karena adanya keterlibatan trombosit pada pembentukkan trombi vena dan adanya peningkatan level penanda trombosit dan aktivasi endotelial pada pasien dengan tromboemboli vena. Dibandingkan dengan plasebo, aspirin tidak dihubungkan dengan peningkatan tingkat perdarahan mayor, yaitu sekitar 0,3% pasien per tahun pada kedua kelompok penelitian. Dosis aspirin yang digunakan adalah dosis rekomendasi untuk pencegahan sekunder kejadian kardiovaskuler atau serebrovaskuler.
Pada penelitian acak aspirin dosis rendah pada berbagai kondisi klinik, insiden perdarahan intrakranial atau ekstrakranial mayor kurang dari 1% per tahun. Tingkat perdarahan mayor warfarin untuk terapi jangka panjang tromboemboli vena diperkirakan sekitar 2% dengan regimen konvensional (INR, 2.0 sampai 3.0). Pada dua penelitian mengenai regimen warfarin intensitas rendah untuk terapi luas tromboemboli vena, tingkat perdarahan mayor adalah 0,9% per pasien per tahun dan 1,1% per pasien per tahun. Perlu dicatat bahwa risiko perdarahan mayor dengan terapi aspirin mungkin lebih besar pada populasi dunia.
Penghambat thrombin oral (dabigatran) dan penghambat faktor Xa oral (rivaroxaban) dievaluasi sebagai terapi untuk tromboemboli vena. Dibandingkan plasebo, agen ini mengurangi risiko kekambuhan tromboemboli vena lebih dari 80%. Kelebihan agen ini dibandingkan dengan antagonis vitamin K adalah bahwa agen ini tidak membutuhkan monitoring laboratorium dan penyesuaian dosis. Seperti yang diharapkan, pengurangan risiko kekambuhan lebih rendah dengan aspirin daripada dengan agen oral baru ini. Seluruh strategi antitrombotik yang ada untuk terapi tromboemboli vena telah dibandingkan dengan plasebo. Tempat aspirin diantara strategi-strategi ini akan dijelaskan pada penelitian-penelitian berikutnya. Namun, aspirin harganya murah dan efek sampingnya sudah diketahui sejak lama.
Warfarin intensitas rendah telah dievaluasi untuk terapi luas tromboemboli vena dan berhubungan dengan 64% pengurangan risiko kekambuhan dibandingkan plasebo. Namun, regimen warfarin masih membutuhkan penyesuaian dosis dan monitoring laboratorium. Penelitian ini menyimpulkan bahwa aspirin yang diberikan setelah terapi antikoagulan pada pasien dengan tromboemboli vena efektif dalam mencegah kekambuhan tanpa meningkatkan risiko perdarahan mayor.
Sumber:
1. Becattini C, Agnelli G. Aspirin for preventing the recurrence of venous thromboembolism [citated October 12, 2012]. N Engl J Med 2012; 366:1959-1967. Available from: http://www.nejm.org
2. Gambar dari http://cardiologyupdateunand.files.wordpress.com/2012/06/aspirin.jpg

Efektivitas Dupilumab pada Asma Persisten dengan Peningkatan Kadar Eosinofil


Data terbaru memperkirakan bahwa 24,6 juta orang atau 8,2% dari populasi di Amerika telah didiagnosis asma. Meskipun telah diterapi dengan glukokortikoid inhalasi dan beta agonis kerja lama (LABAs), penyakit tidak terkontrol pada 10 hingga 20% pasien. Pasien ini berisiko untuk hasil keluaran yang buruk, dan biaya pengobatan mereka menjadi masalah ekonomi bagi penderita asma. Mekanisme yang menyertai kontrol asma yang buruk ini masih belum diketahui.
Gejala klinis asma persisten, sedang sampai berat dikenali dalam berbagai fenotipe. Data memperlihatkan bahwa proses radang berhubungan dengan imunitas sel T helper tipe 2 terlihat pada hampir separuh dari populasi asma. Sebagai contoh, percobaan klinis pada antibodi terhadap sitokin yang berhubungan dengan Th2 secara konsisten memperlihatkan efektivitas pada partisipan dengan peningkatan kadar eosinofil atau penanda-penanda lain dari jalur aktivasi Th2. Sitokin ini khususnya interleukin 4 dan interleukin 13 berperan pada asma dan penyakit atopik. Sinyal melalui dua reseptor berbeda namun saling tumpang tindih, masing-masing mengandung subunit alfa reseptor interleukin 4. Reseptor tipe 1 diaktivasi hanya oleh interleukin 4, berlokasi predominan di limfosit dan mengontrol diferensiasi sel Th2.
Reseptor tipe II diaktivasi oleh interleukin 4 dan interleukin 13, diekspresikan secara luas melalui sel-sel mieloid dan residen. Oleh karena itu, antibodi yang bekerja pada reseptor interleukin 4 potensial dapat menghambat jalur yang dilalui oleh kedua sitokin.
Dupilumab sebuah antibodi monoklonal manusia terhadap subunit alfa reseptor interleukin 4 yang menghambat baik sinyal interleukin 4 dan interleukin 13, sedang dievaluasi untuk terapi penyakit yang dimediasi oleh jalur Th2. Tujuan penelitian ini adalah untuk menilai efektivitas dan keamanan dupilumab pada pasien dewasa dengan asma sedang sampai berat dan kadar eosinofil yang meningkat.
Metode
Penelitian acak, plasebo terkontrol, tersamar ganda, penelitian fase 2A kelompok paralel dilakukan di 28 tempat di Amerika Serikat dari Maret 2011 sampai Oktober 2012. Periode skrining selama 2 minggu diikuti oleh periode intervensi selama 12 minggu dan periode tindak lanjut 8 minggu.
Pasien yang memenuhi syarat adalah berumur 18 sampai 65 tahun dan memiliki asma sedang sampai berat, persisten, peningkatan kadar eosinofil darah (≥ 300 sel per mikroliter) atau peningkatan kadar eosinofil sputum meningkat (≥ 3%) saat skrining, dan gejala-gejala yang tidak terkontrol dengan glukokortikoid inhalasi dosis medium sampai tinggi ditambah beta agonis kerja lama (fluticasone [≥ 250 μg] dan salmeterol [50 μg] dua kali sehari atau ekuivalen).
Diagnosis asma paling sedikit 12 bulan ditandai oleh reversibilitas volume ekspirasi dalam 1 detik (FEV1) selama skrining atau lebih awal atau oleh methacholine challenge positif dalam 12 bulan sebelum skrining. Kriteria inklusi tambahan adalah FEV1 50% atau lebih dari nilai prediktif selama skrining dan saat randomisasi, sebuah skor Asthma Control Questionnaire (versi lima pertanyaan, ACQ5) dari 1,5 hingga 3,0 pada saat skrining (jangkauan skor 0-6, dengan skor yang lebih rendah mengindikasikan kontrol asma yang lebih baik dan 0,5 sebagai nilai perbedaan minimal yang bermakna secara klinis antar skor), dan paling sedikit eksaserbasi asma dalam 2 tahun sebelum skrining (ditandai oleh terapi dengan lebih dari sama dengan 1 glukokortikoid sistemik, perawatan di rumah sakit, atau kunjungan instalasi gawat darurat karena perburukan asma).
Intervensi
Pasien secara acak dibagi dengan perbandingan 1:1 secara sentral untuk menerima injeksi subkutan dupilumab (300 mg) atau plasebo selama 12 minggu. Injeksi diberikan oleh peneliti atau personil lain yang tidak mengetahui pembagian kelompok penelitian. Sebagai tambahan, pasien menerima fluticasone (250 atau 500 μg) dan salmeterol (50 μg) dua kali sehari (berdasarkan dosis glukokortikoid inhalasi dan beta agonis kerja lama sebelum percobaan) selama 4 minggu. Pasien diinstruksikan untuk menghentikan beta agonis kerja lama pada minggu ke-4, menurunkan secara perlahan-lahan, dan menghentikan glukokortikoid inhalasi selama minggu ke 6 sampai minggu ke 9. Pendekatan ini memungkinkan peneliti mengamati efek dupilumab saat ditambahkan pada terapi standar, setelah penghentian beta agonis kerja lama, selama penurunan secara perlahan-lahan dosis glukokortikoid inhalasi, dan sebagai monoterapi.
Pasien menerima pengobatan selama 12 minggu atau sampai protokol eksaserbasi asma terjadi. Dalam rangka penelitian penghentian pengobatan asma, eksaserbasi diartikan sebagai kejadian salah satu dari: penurunan 30% atau lebih aliran ekspirasi puncak (PEF) di pagi hari dari awal penelitian dalam 2 hari berturut-turut, paling sedikit 6 inhalasi reliever tambahan albuterol atau levalbuterol dalam waktu 24 jam relatif dari awal penelitian dalam 2 hari berturut-turut, atau eksaserbasi asma yang membutuhkan terapi glukokortikoid sistemik, peningkatan glukokortikoid inhalasi paling sedikit 4 kali dosis terbaru, atau perawatan di rumah sakit karena asma.
Keluaran
Keluaran primer adalah kejadian sebuah eksaserbasi asma, seperti yang telah didefinisikan sebelumnya, selama waktu 12 minggu intervensi. Keluaran sekunder adalah waktu terhadap timbulnya eksaserbasi asma dan perubahan dari awal penelitian pada setiap kunjungan dan pada minggu ke-12 dalam FEV1 di pagi hari dan PEF di sore hari, skor ACQ5, skor gejala asma pagi dan sore hari (jangkauan skor 0 sampai 4 dengan skor lebih tinggi mengindikasikan gejala yang lebih parah), terbangun di malam hari, dan jumlah inhalasi albuterol atau levalbuterol per hari. Seluruh keluaran kecuali FEV1 direkam pada sebuah diari elektronik dan digunakan untuk penilaian gejala saluran napas bawah. Pastisipan mengisi 22 item Sinonasal Outcome Test (SNOT-22 [jangkauan skor dari 0 sampai 110, dengan skor yang lebih tinggi menandakan keluaran yang lebih buruk dan dengan 8.9 sebagai perbedaan minimal yang bermakna secara klinis antar skor]) di awal penelitian dan pada akhir waktu intervensi.
Pengukuran farmakodinamik, termasuk biomarker yang berhubungan dengan Th2, telah dinilai pada beberapa titik waktu. Terdapat fraksi nitrit oxide yang dibuang (FeNO), biomarker serum (timus dan aktivasi kemokin terregulasi [TARC atau CCL17], IgE, YKL-40 dan antigen carcinoembrionik [CEA]), plasma eotaxin-3 (CCL26), dan kadar eosinofik darah perifer. Tingkat keamanan dan tolerabilitas dievaluasi berdasarkan insiden efek samping dan efek samping serius, tanda vital dan pemeriksaan fisik, tes laboratorium klinis, danelektrokardiografi 12 lead.
Analisis Statistik
Analisis efektivitas dilakukan pada populasi yang diobati, didefinisikan sebagai seluruh pasien acak yang menerima paling sedikit satu dosis obat yang diteliti. Hampir 50% per kelompok dibutuhkan untuk mendeteksi perbedaan absolut 30 persen poin dalam eksaserbasi asma antara dua kelomok, dengan kekuatan 80% (tingkat two-tailed alpha 0,05) dan asumsi 10% tingkat drop out.
Untuk keluaran primer, model regresi logistik digunakan untuk membandingkan dua kelompok penelitian, dengan obat penelitian dan faktor stratifikasi (glukokortikoid inhalasi dan beta agonis kerja lama dosis sebelumnya) dimasukan sebagai kovariat. Keluaran sekunder waktu timbulnya eksaserbasi asma dianalisa dengan menggunakan tes log-rank untuk membandingkan survival distribution antarkelompok. Untuk keluaran sekunder lain (kecuali skor SNOT-22), perubahan dari awal penelitian dievaluasi dengan menggunakan model mixed-effect dengan pengukuran berulang. Model meliputi nilai perubahan dari awal penelitian sampai minggu ke-12 sebagai variabel respon dan faktor yang termasuk (fixed effects) untuk obat penelitian, faktor stratifikasi, kunjungan, interaksi antara obat penelitian dan kunjungan, nilai sebelum penelitian, dan interaksi antara nilai sebelum penelitian dan kunjungan. Inferensi statistik pada perbandingan obat penelitian untuk perubahan dari awal penelitian pada minggu ke-12 telah diturunkan dari model mixed-effects.
Perubahan dari awal penelitian pada skor SNOT-22 dianalisis dengan menggunakan analisis kovarians (ANCOVA), dengan pengukuran pada akhir periode intervensi untuk menghubungkan data yang hilang. Efek farmakodinamik telah dievaluasi dengan menggunakan model mixed-effects dengan pengukuran berulang pada mode post hoc. Tidak dilakukan penyesuaian untuk perbandingan multipel karena hanya terdapat satu keluaran primer dan analisis.
Statistik deskriptif digunakan untuk karakteristik klinis dan demografik dan untuk variabel keamanan termasuk efek samping, tanda vital, dan pemeriksaan fisik, uji laboratorium, dan EKG. Plot dari variabel farmakodinamik dan sekunder ditampilkan dalam rata-perubahan rata-rata (±SE) atau perubahan persentase dari awal penelitian. Perbandingan dari efek terapi dari model mixed-effects dengan pengukuran berulang berdasarkan pada perubahan rata-rata kuadrat paling kecil (95% CI) dari awal penelitian pada minggu ke-12.
Pasien
Total 104 pasien (dari 491 yang diskrining) dilakukan randomisasi dengan 52 setiap kelompok penelitian. Tiga pasien memenuhi syarat kadar eosinophil sputum meningkat dan sisinya memenuhi kriteria untuk kadar eosinophil darah meningkat. Seluruh pasien yang telah diacak menerima paling sedikit satu dosis obat. Karakteristik klinis dan demografis sama pada kedua kelompok.
Waktu intervensi telah diselesaikan oleh 87% pasien pada kelompok dupilumab dan 67% pasien plasebo. Penyebab paling banyak pasien tidak melanjutkan penelitian adalah kurangnya efektivitas, dimana lebih banyak pada plasebo (11 pasien, 21 %) daripada dupilumab (1 pasien, 2%).
Keluaran Primer
Eksaserbasi asma terjadi pada 26 pasien: 3 menerima dupilumab (6%) dan 23 menerima plasebo (44%) (odds ratiodengan dupilumab 0.08;95% CI, 0.02 – 0.28; P<0.001). Tidak ada pasien yang dirawat karena eksaserbasi asma. Kejadian paling sering yang menunjukkan eksaserbasi asma adalah penurunan PEF di pagi hari dan peningkatan pengunaan pengobatan reliever, masing-masing 2% dan 19% pasien pada kelompok dupilumab dan plasebo, secara berurutan.
Keluaran Sekunder
Waktu untuk terjadinya eksaserbasi asma lebih panjang dan risiko eksaserbasi dikurangi dengan dupilumab dibandingkan dengan plasebo (hazard ratio, 0.10;95% CI, 0.03 – 0.34; P<0.001). Untuk seluruh keluaran sekunder, pengukuran minggu ke-12 menunjukkan keunggulan dupilumab dan perbedaan antarkelompok signifikan kecuali untuk PEF sore, terbangun di malam hari, dan beberapa item SNOT-22.
Diskusi
Penelitian sebelumnya memperlihatkan bahwa sitokin Th2 interleukin 4 dan interleukin 13 memiliki peran dalam asma. Data dari penelitian dupilumab mendukung peran patogeniknya pada pasien dengan asma sedang sampai berat persisten dan tingkat eosinofil meningkat. Data penelitian ini dan penelitian sebelumnya memperlihatkan bahwa memblok kedua sitokin lebih efektif daripada salah satu saja. Efektivitas dupilumab telah diobservasi pada pasien diterapi dengan glukokortikoid inhalasi dosis medium sampai tinggi (80% pasien menggunakan glukokortikoid inhalasi dosis tinggi) dengan kombinasi dengan beta agonis kerja lama, sebuah penemuan yang memperlihatkan bahwa pasien dengan inflamasi saluran napas residual, terdapat interleukin 4 dan interleukin 13 dan berkontribusi pada penyakit meskipun sudah diterapi glukokortikoid.
Dupilumab mengurangi proporsi pasien dengan kejadian eksaserbasi asma, didefinisikan oleh protokol, 87% relatif terhadap plasebo. Dupilumab memperlihatkan efektivitas substansial dengan mempertimbangkan kedua objektif dan hasil akhir pasien dilaporkan pasien saat ditambahkan pada glukokortikoid inhalasi dan LABA, dengan efektivitas terjaga meskipun penghentian terapi. FEV1 meningkat lebih dari 200 ml saat dupilumab dibandingkan dengan plasebo yang telah ditambahkan terhadap glukokortikoid inhalasi dan LABA, peningkatan ketahanan selama diskontinuasi dan penurunan. Hal ini khususnya terlihat karena pasien yang mengikuti penelitian memiliki FEV1 hampir 70% nilai prediksi dan meskipun dengan terapi penyerta, tidak dianggap memiliki kontrol asma yang baik berdasarkan kriteria standar (skor ACQ5 awal penelitian adalah 2.1). Peningkatan cepat dan menetap selama durasi penelitian juga diteliti pada gejala, penggunaan agonis beta, dan skor ACQ5. Berdasarkan skor ACQ5, perbedaan antarkelompok perubahan dari awal penelitian adalh 0.73 poin, lebih ebsar daripada perubahan poin yang dianggap signifikan yaitu 0.5.
Reaksi di tempat suntikan, nasofaringitis, muntah, dan nyeri kepala terjadi lebih sering dengan dupilumap daripada dengan plasebo, dan lesi kemerahan popular progresif, urtikaria, dan edema terbentuk pada 1 pasien, menyebabkan pemberian terapi simtomatik tidak darurat dan penghentian dupilumab. Karena hanya 52 pasien menerima dupilumab pada penelitian ini, spektrum kejadian efek samping potensial tidak diketahui, pasien akan dimonitor secara lebih dekat untuk setiap kejadian.
Sebagai kesimpulan, penelitian 12 minggu memperlihatkan bahwa pada subpopulasi pasien dengan asma persisten, terapi dupilumab, dibandingkan dengan plasebo, dihubungkan dengan eksaserbasi yang lebih sedikit. Manfaat telah diidentifikasi secara primer oleh perubahan dalam aliran puncak dan penggunaan beta agonis. Waktu penelitian jangka pendek dan definisi yang digunakan untuk eksaserbasi mungkin tidak menggambarkan eksaserbasi asma yang nyata. Penelitian lebih lanjut dibutuhkan untuk mengkonfirmasi penelitian ini dan mendefinisikan populasi target, regimen dosis, serta keamanan dan efektivitas jangka panjang yang lebih baik.
Sumber:
1. Wenzel S, et al. Dupilumab in persistent asthma with elevated eosinophil levels [citated June, 27 2013]. N Engl J Med 2013; 368:2455-2466. Available from: http://www.nejm.org
2. Gambar diambil dari http://www.examthone.com/wp-content/uploads/2012/05/asma2.jpg

influenza


DEFINISI
Influenza (flu) adalah suatu infeksi virus yang menyebabkan demam, hidung meler, sakit kepala, batuk, tidak enak badan (malaise) dan peradangan pada selaput lendir hidung dan saluran pernafasan.
PENYEBAB
Virus influenza tipe A atau B.
Virus ditularkan melalui air liur terinfeksi yang keluar pada saat penderita batuk atau bersin; atau melalui kontak langsung dengan sekresi (ludah, air liur, ingus) penderita.
GEJALA
Influenza berbeda dengan common cold.
Gejalanya timbul dalam waktu 24-48 jam setelah terinfeksi dan bisa timbul secara tiba-tiba.
Kedinginan biasanya merupakan petunjuk awal dari influenza.
Pada beberapa hari pertama sering terjadi demam, bisa sampai 38,9-39,4°Celsius.
Banyak penderita yang merasa sakit sehingga harus tinggal di tempat tidur; mereka merasakan sakit dan nyeri di seluruh tubuhnya, terutama di punggung dan tungkai.
Sakit kepala seringkali bersifat berat, dengan sakit yang dirasakan di sekeliling dan di belakang mata. Cahaya terang bisa memperburuk sakit kepala.
Pada awalnya gejala saluran pernafasan relatif ringan, berupa rasa gatal di tenggorokan, rasa panas di dada, batuk kering dan hidung berair.
Kemudian batuk akan menghebat dan berdahak.
Kulit teraba hangat dan kemerahan, terutama di daerah wajah.
Mulut dan tenggorokan berwarna kemerahan, mata berair dan bagian putihnya mengalami peradangan ringan.
Kadang-kadang bisa terjadi mual dan muntah, terutama pada anak-anak.
Setelah 2-3 hari sebagian besar gejala akan menghilang dengan segera dan demam biasanya mereda, meskipun kadang demam berlangsung sampai 5 hari.
Bronkitis dan batuk bisa menetap sampai 10 hari atau lebih, dan diperlukan waktu 6-8 minggu ntuk terjadinya pemulihan total dari perubahan yang terjadi pada saluran pernafasan.
KOMPLIKASI
Influenza merupakan penyakit serius, tetapi sebagian besar penderita akan kembali sehat dalam waktu 7-10 hari.
Komplikasi bisa memperberat penyakit ini. Resiko tinggi terjadinya komplikasi ditemukan pada penderita yang sangat muda, usia lanjut dan penderita penyakit jantung, paru-paru atau sistem saraf.
Kadang influenza menyebabkan peradangan saluran pernafasan yang berat disertai dahak berdarah (bronkitis hemoragik).
Komplikasi yang paling berat adalah pneumonia virus; yang bisa berkembang dengan segera dan menyebabkan kematian dalam waktu 48 jam. Pneumonia virus kemungkinan akan terjadi selama wabah influenza A.
Komplikasi lainnya dalah pneumonia bakteri yang terjadi karena adanya ganguan dalam kemampuan paru-paru untuk melenyapkan atau mengendalikan bakteri di dalam saluran pernafasan.
Meskipun sangat jarang terjadi, virus influenza jgua dihubungkan dengan peradangan otak (ensefalitis), jantung (miokarditis) atau otot (miositis).
Ensefalitis bisa menyebabkan penderita tampak mengantuk, bingung atau bahkan jatuh dalam keadaan koma. Miokarditis bisa menyebabkan murmur jantung atau gagal jantung.
Sindroma Reye merupakan komplikasi serius dan bisa berakibat fatal, yang terjadi terutama pada anak-anak selama wabah influenza B.
Sindroma Reye terutama terjadi jika anak-anak mendapatkan aspirin atau obat yang mengandung aspirin.
DIAGNOSA
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala-gejalanya. Beratnya penyakit dan adanya demam tinggi membedakan influenza dari common cold.
Untuk memperkuat diagnosis dilakukan pembiakan virus dari sekret penderita.
PENGOBATAN
Pengobatan flu yang utama adalah istirahat dan berbaring di tempat tidur, minum banyak cairan dan menghindari kelelahan. Tirah baring sebaiknya dilakukan segera setelah gejala timbul sampai 24-48 setelah suhu tubuh kembali normal.
Untuk penyakit yang berat tetapi tanpa komplikasi, bisa diberikan asetaminofen, aspirin, ibuprofen atau naproksen.
Kepada anak-anak tidak boleh diberikan aspirin karena resiko terjadinya sindroma Reye.
Obat lainnya yang biasa diberikan adalah dekongestan hidung dan penghirupan uap.
Jika segera diberikan pada infeksi influenza A yang belum mengalami komplikasi, obat rimantadin atau amantadin bisa membantu mengurangi lama dan beratnya demam serta gejala pernafasan.
Ribavirin (dalam bentuk obat hirup atau tablet) mampu memperpendek lamanya demam dan mempengaruhi kemampuan virus untuk berkembangbiak, tetapi pemakaiannya masih bersifat eksperimental. Ribavirin bisa diberikan untuk meringankan gejala pneumonia virus.
Infeksi bakteri sekunder diobati dengan antibiotik.
Pneumonia bakteri karena pneumokokus, bisa dicegah dengan memberikan vaksinyang mengandung pneumokokus. Tetapi vaksin ini tidak diberikan kepada seseorang yang telah menderita influenza.
PENCEGAHAN
Seseorang yang pernah terkana virus influenza, akan membentuk antibodi yang melindunginya terhadap infeksi ulang oleh virus tertentu.
Tetapi cara terbaik untuk mencegah terjadinya influenza adalah vaksinasi yang dilakukan setiap tahun.
Vaksin influenza mengandung virus influenza yang tidak aktif (dimatikan) atau partikel-partikel virus.
Suatu vaksin bisa bersifat monovalen (1 spesies) atau polivalen (biasanya 3 spesies).
Suatu vaksin monovalen bisa diberikan dalam dosis tinggi untuk melawan suatu jenis virus yang baru, sedangkan suatu vaksin polivalen menambah pertahanan terhadap lebih dari satu jenis virus.
Amantadin atau rimantadin merupakan 2 obat anti-virus yang bisa melindungi terhadap influenza A saja.
Obat ini digunakan selama wabah influenza A untuk melindungi orang-orang yang kontak dengan penderita dan orang yang memiliki resiko tinggi-yang belum menerima vaksinasi.
Pemakaian obat bisa dihentikan dalam waktu 2-3 minggu setelah menjalani vaksinasi. Jika tidak dapat dilakukan vaksinasi, maka obat diberikan selama terjadi wabah, biasanya selama 6-8 minggu.
Oba ini bisa menyebabkan gelisah, sulit tidur dan efek samping lainnya, terutama pada usia lanjut dan pada penderita kelainan otak atau ginjal.
sumber : medicastore.com

pingsan (sinkop)


PENYEBAB
Pingsan merupakan gejala dari tidak memadainya suplai oksigen dan zat makanan lainnya ke otak, yang biasanya disebabkan oleh berkurangnya aliran darah yang bersifat sementara.
Berkurangnya aliran darah ini dapat terjadi jika tubuh tidak dapat segera mengkompensasi suatu penurunan tekanan darah, seperti yang terjadi pada:


  • Gangguan irama jantung
    Pada seseorang yang memiliki irama jantung abnormal, jantungnya tidak mampu meningkatkan curah jantung untuk mengkompensasi menurunnya tekanan darah. Ketika sedang dalam keadaan istirahat, orang tersebut akan merasakan baik-baik saja; mereka akan pingsan jika sedang melakukan aktivitas karena kebutuhan tubuh akan oksigen meningkat secara tiba-tiba.
    Keadaan ini disebut sinkop eksersional.
  • Aktivitas fisik yang berat
    Seseorang sering pingsan setelah melakukan aktivitas.
    Jantung hampir tidak mampu mempertahankan tekanan darah yang adekuat selama aktivitas. Jika aktivitas dihentikan, denyut jantung mulai menurun tetapi pembuluh darah dari otot-otot tetap melebar untuk membuang hasil limbah metabolik. Berkurangnya curah jantung dan meningkatnya kapasitas pembuluh, menyebabkan tekanan darah turun dan pingsan.
  • Penurunan volume darah
    Volume darah akan berkurang pada:
    – perdarahan
    – dehidrasi akibat diare, keringat berlebihan dan berkemih berlebihan (yang sering terjadi pada diabetes yang tidak diobati dan penyakit Addison).
  • Mekanisme kompensasi terhadap sinyal yang berasal dari bagian tubuh lain
    Kram usus bisa mengirim sinyal ke jantung melalui saraf vagus yang akan memperlambat denyut jantung sehingga seseorang pingsan. Keadaan ini disebut sinkop vasomotor atau sinkop vasovagal.
    Berbagai sinyal lainnya bisa menyebabkan pingsan jenis ini (misalnya nyeri, ketakutan, melihat darah).
  • Pingsan karena batuk (sinkop batuk) atau karena berkemih berlebihan (sinkop mikturisi) biasanya terjadi jika jumlah darah yang mengalir kembali ke jantung berkurang selama mengedan.
    Hal ini sering terjadi pada orang tua.
  • Sinkop karena menelan dapat menyertai penyakit pada kerongkongan.Pingsan juga dapat disebabkan oleh:
    – Berkurangnya jumlah sel darah merah (anemia)
    – Berkurangnya kadar gula darah (hipoglikemi)
    – Berkurangnya kadar karbondioksida dalam darah (hipokapni) karenahiperventilasi.Weight lifter’s syncope merupakan akibat dari hiperventilasi sebelum mengangkat beban pada atlet angkat besi.
    Pada orang tua, pingsan bisa merupakan bagian dari stroke ringan, dimana aliran darah ke salah satu bagian otak tiba-tiba menurun.
  • GEJALA
    Pingsan bisa didahului oleh pusing atau perasaan melayang, terutama pada saat seseorang sedang dalam keadaan berdiri.
    Setelah terjatuh, tekanan darah akan kembali meningkat karena penderita telah berbaring dan karena penyebab pingsan telah hilang.
    Berdiri terlalu cepat dapat memnyebabkan penderita kembali pingsan.
    Jika penyebabnya adalah gangguan irama jantung, pingsan akan terjadi dan berakhir secara tiba-tiba.
    Sesaat sebelum pingsan, kadang penderita mengalami palpitasi (jantung berdebar).
    Pingsan ortostatik terjadi jika seseorang duduk atau berdiri terlalu cepat.
    Parade ground syncope terjadi jika seseorang berdiri untuk waktu yang lama pada cuaca yang panas. Otot kaki tidak digunakan sehingga tidak mendorong darah ke arah jantung, karena itu darah terkumpul di pembuluh balik tungkai dan tekanan darah turun.
    Sinkope vasovagal dapat terjadi ketika seseorang duduk atau berdiri, dan sering didahului oleh mual, kelemahan, menguap, penglihatan kabur dan berkeringat.
    Penderita terlihat pucat, denyut nadi menjadi sangat lambat dan kemudian pingsan.
    Pingsan yang dimulai secara bertahap disertai gejala pendahulu dan juga menghilang secara bertahap, menunjukkan adanya perubahan di dalam kimia darah:
    – penurunan kadar gula darah (hipoglikemi)
    – penurunan kadar karbondioksida darah (hipokapni) karena hiperventilasi.
    Hipokapni sering didahului oleh perasaan tertusuk jarum dan rasa tidak nyaman di dada.
    Pingsan histeris bukan merupakan pingsan yang sesungguhnya.
    Penderita hanya berpura-pura tidak sadar tetapi tidak memiliki kelainan denyut jantung maupun tekenan darah dan tidak berkeringat serta tidak tampak pucat.
    DIAGNOSA
    Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan fisik.
    Elektrokardiogram dapat menunjukkan adanya penyakit jantung atau penyakit paru-paru.
    Untuk menemukan penyebabnya, dokter bisa memasang monitor Holter pada penderita untuk merekam irama jantung selama 24 jam dan penderita melakukan kegitannya seperti biasa.
    Jika irama jantung yang tidak teratur terjadi bersamaan dengan pingsan, kemungkinan penyebabnya adalah suatu kelainan jantung.
    Ekokardiogram bisa menunjukkan kelainan struktur maupun kelainan fungsi jantung.
    Pemeriksaan darah bisa menunjukkan adanya kadar gula darah yang rendah (hipoglikemi) atau kekurangan sel darah merah (anemia).
    Untuk mendiagnosis epilepsi, yang kadang dikelirukan dengan pingsan, dilakukan pemeriksaan elektroensefalografi.
    sumber : medicastore.com

    usus buntu

    Pengertian Penyakit Usus Buntu Penyakit usus buntu adalah peradangan atau pembengkakan apendiks atau usus buntu.  Sedangkan usus bunt...