DEPOK--Internet kini seakan tak dapat dipisahkan dari kehidupan
masyarakat modern. Indonesia bisa disebut sebagai salah satu negara
dengan penggunaan internet yang tinggi dengan 74,6 juta pengguna. Tak
hanya orang dewasa untuk urusan pekerjaan, internet juga merambah pada
kalangan yang lebih muda alias anak dan remaja.
Mengingat pentingnya memahami internet bagi orangtua terutama untuk membimbing anak-anaknya, SD Lentera Insan mengadakan diskuski Parenting "Internet Sehat untuk Anak", beberapa waktu lalu. Tampak puluhan orangtua siswa dan masyarakat umum yang antusias mengikuti diskusi yang diawali dengan kreasi tari dari para siswa ekstrakurikuler menari SD Lentera Insan.
Hadir sebagai narasumber yaitu Koordinator Program Kampanye Internet Sehat Frenavit Putra dari Internet Sehat, ICT Watch Indonesia. Sebagai pembuka, Frenavit mengungkap perbedaan generasi orang dewasa saat ini dengan anak dan remaja ini bisa disebut generasi digital native. Apakah yang dimaksud dengan digital native?
Mengutip situs web TemanTakita.com yang dimaksud dengan generasi digital native adalah mereka yang lahir pada jaman digital dan berinteraksi dengan peralatan digital pada usia dini. Di Indonesia, awal generasi ini yaitu yang lahir setelah tahun 1990-an. Tapi bila ingin dikatakan sebagai sebuah generasi, maka yang lebih tepat penduduk asli dunia digital adalah mereka yang lahir setelah tahun 2000.
Situs itu mencatat jumlah digital native di Indonesia sekitar 29,2% atau sekitar 21,2 juta pengguna. Sementara komposisi usia digital native yaitu 0-3 tahun (1%), 4-7 tahun (3%), 8-11 tahun (10%), 12-15 tahun (39%) dan 16-19 tahun (48%).
"Digital native terbanyak saat ini pada usia 16-19 tahun, itu sebabnya kita sangat concern untuk menyasar pada orangtua dari remaja usia tersebut, selain usia yang dibawahnya," ujar Frenavit.
Ia memberi pengandaian, rasa haus yang dirasakan membuat seseorang ingin minum. Namun, alih-alih dari dispenser, justru air yang ditampung keluar dari hidran yang menyembur sangat banyak. Demikian pula yang terjadi di internet. Anak dan remaja dengan kehausan informasi, mendapatkan semburan yang terlalu banyak dibandingkan yang dibutuhkan.
"Jika sejak usia 12-15 tahun tidak dilakukan pengawasan dan penggunaan internet dengan tepat, maka pada saat mereka usia 16-19 tahun bisa-bisa jadi tidak terkontrol," tegasnya.
Tapi, apa saja yang dilakukan anak dan remaha selama berselancar di internet? Menurut Markplus Insight Survei Netizen 2013, hampir 95,90% mengunjungi media sosial, disusul kegiatan browsing sebanyak 79,40%, portal berita online (69,40%), surat elektronik (62,50%), mengunduh dan mengunggah video (56,10%) serta chatting (42%).
Meski demikian, lanjut Frenavit, banyak manfaat internet bagi anak seperti edukasi, hiburan, interaksi/komunikasi dan meningkatkan daya kreasi. Contoh situs web untuk remaja, misalnya Wikipedia, google translate, howstuffworks.com, informasi beasiswa. “Dan masih banyak situs dan game yang dapat digunakan untuk belajar, bermain dan juga meningkatkan kreativitas anak,” paparnya.
Namun, perlu diwaspadai adanya bahaya yang mengintai para pengguna internet, terutama dari kalangan anak-anak dan remaja. Misalnya, anak dan remaja yang diculik atau pergi dari rumah bersama seseorang yang dikenalnya di media sosial.
Frenavit mengidentifikasi tiga ancaman terhadap anak-anak di dunia maya yaitu pornografi, keamanan dan privasi. Antara lain, terjadinya kecanduan internet yang tak terkontrol, cyberbully dan terbukanya informasi pribadi terhadap orang-orang yang tidak seharusnya.
Pria berperawakan tinggi tersebut menyayangkan banyak orangtua yang hanya fokus pada ancaman pornografi, padahal isu keamanan dan privasi tak kalah penting. Ia mencontohkan, banyak anak-anak yang bermain sosial media kemudian mengungkapkan hal-hal privasi kepada orang lain yang hanya dikenalnya di dunia maya.
"Salah satu kebiasaan digital native yang harus diwaspadai adalah mereka tidak memperhatikan privasi. Umpatan anak pada orangtua sering ditemukan di media sosial. Predator online biasanya memanfaatkan itu," terangnya.
Ia mencontohkan, seorang anak yang berkenalan dengan seseorang yang mengaku dokter di media sosial yang ternyata seorang predator. Tanpa curiga, anak tersebut menjawab pertanyaan-pertanyaan yang kemudian mengarah kepada organ intim.
"Para predator itu biasanya bisa berbulan-bulan mengajak berkomunikasi dengan anak. Mereka berusaha memperoleh kepercayaan dari anak sebelum memperdayanya. Kadang yang mereka tanyakan adalah sesuatu yang remeh, seperti aktivitas anak atau bagaimana perasaan anak. Disini pentingnya peran dan pengawasan orangtua," papar Frenavit.
Waktu yang Tepat
Pertanyaan dari salah satu orangtua yang hadir saat itu, Supardi Lee yaitu mengenai kapan waktu yang tepat memberi pengertian kepada anak mengenai situs web yang tergolong vulgar. Sebab, dikhawatirkan akan lebih berbahaya, jika anak mencaritahu sendiri atau dari teman-teman sebaya saja.
Menurut Frenavit, memberi pengertian kepada anak-anak mengenai bagian-bagian tubuh sensitif yang kemungkinan mereka akan temui di interet, tak mengenal usia. “Ketika anak mulai masuk internet, berapapun umurnya mereka harus diberi pengertian tentang itu,” kata pria berperawakan tinggi tersebut. Ia menambahkan, anak bisa mulai diperkenalkan internet pada usia delapan tahun dengan konten-konten yang sesuai.
Pertanyaan dari orangtua berikutnya mengenai durasi anak berselancar di internet. Frenavit memberi batasan sebagai berikut :
• Anak usia 8-12 tahun (SD) durasi berinternet sekitar 1 jam
• Anak usia 13-15 tahun (SMP) durasi berinternet 1 jam 30 menit
• Anak usia 15-18 tahun (SMA) hingga dewasa sekitar 2 jam
Namun, Frenavit tetap menekankan pentingnya sisipan internaksi setiap 30 menit. Untuk anak-anak usia SD, bisa saja setelah 30 menit berinternet, misalnya disisipi bermain lego selama 15 menit.
“Kalau anak sudah berinternet tanpa jeda, atau saat dipanggil, diam saja maka orangtua sebaiknya waspada, Mulai pendampingan,” tegasnya.
Pentingnya jeda setiap kali menatap layar komputer atau tablet ataupun gadget lain adalah efeknya terhadap kesehatan. “Sebaiknya tiap 15 menit, alihkan pandangan dari layar. Termasuk juga untuk orang dewasa,” terang Frenavit.
Ia memberi sebuah contoh aplikasii yang dapat diunduh pada perangkat gadget dari k9webprotection.com yang dapat membantu orangtua membatasi konten sekaligus durasi internet. "Jika anak hanya diperbolehkan berinternet selama satu jam, maka aplikasi ini otomatis akan menghentikan koneksi internet setelah satu jam," pungkasnya.
Tips Orangtua Memandu Internet untuk Anak
Menghadapi dunia digital bersama dengan digital native bukanlah pekerjaan remeh bagi para orangtua. Namun, menutup akses internet bagi anak dan remaja juga tidak dapat menjadi solusi. Jadi apa yang harus dilakukan orangtua? Berikut tips yang dapat dilakukan:
Persiapan
1. Pelajari manfaat internet
2. Pelajari situs dan aplikasi di internet
3. Pelajari perangkat digital dan sistem operasinya
Pembelajaran
1. Kenalkan asyiknya berinternet
2. Bangun kebiasaan saling bercerita
3. Menjaga keseimbangan hidup
4. Waktu penggunaan yang proporsional
5. Etika dunia nyata, etika di internet
6. Ajarkan tiga aturan dasar berinternet diatas
7. Luangkan waktu untuk aktivitas bersama
Mengingat pentingnya memahami internet bagi orangtua terutama untuk membimbing anak-anaknya, SD Lentera Insan mengadakan diskuski Parenting "Internet Sehat untuk Anak", beberapa waktu lalu. Tampak puluhan orangtua siswa dan masyarakat umum yang antusias mengikuti diskusi yang diawali dengan kreasi tari dari para siswa ekstrakurikuler menari SD Lentera Insan.
Hadir sebagai narasumber yaitu Koordinator Program Kampanye Internet Sehat Frenavit Putra dari Internet Sehat, ICT Watch Indonesia. Sebagai pembuka, Frenavit mengungkap perbedaan generasi orang dewasa saat ini dengan anak dan remaja ini bisa disebut generasi digital native. Apakah yang dimaksud dengan digital native?
Mengutip situs web TemanTakita.com yang dimaksud dengan generasi digital native adalah mereka yang lahir pada jaman digital dan berinteraksi dengan peralatan digital pada usia dini. Di Indonesia, awal generasi ini yaitu yang lahir setelah tahun 1990-an. Tapi bila ingin dikatakan sebagai sebuah generasi, maka yang lebih tepat penduduk asli dunia digital adalah mereka yang lahir setelah tahun 2000.
Situs itu mencatat jumlah digital native di Indonesia sekitar 29,2% atau sekitar 21,2 juta pengguna. Sementara komposisi usia digital native yaitu 0-3 tahun (1%), 4-7 tahun (3%), 8-11 tahun (10%), 12-15 tahun (39%) dan 16-19 tahun (48%).
"Digital native terbanyak saat ini pada usia 16-19 tahun, itu sebabnya kita sangat concern untuk menyasar pada orangtua dari remaja usia tersebut, selain usia yang dibawahnya," ujar Frenavit.
Ia memberi pengandaian, rasa haus yang dirasakan membuat seseorang ingin minum. Namun, alih-alih dari dispenser, justru air yang ditampung keluar dari hidran yang menyembur sangat banyak. Demikian pula yang terjadi di internet. Anak dan remaja dengan kehausan informasi, mendapatkan semburan yang terlalu banyak dibandingkan yang dibutuhkan.
"Jika sejak usia 12-15 tahun tidak dilakukan pengawasan dan penggunaan internet dengan tepat, maka pada saat mereka usia 16-19 tahun bisa-bisa jadi tidak terkontrol," tegasnya.
Tapi, apa saja yang dilakukan anak dan remaha selama berselancar di internet? Menurut Markplus Insight Survei Netizen 2013, hampir 95,90% mengunjungi media sosial, disusul kegiatan browsing sebanyak 79,40%, portal berita online (69,40%), surat elektronik (62,50%), mengunduh dan mengunggah video (56,10%) serta chatting (42%).
Meski demikian, lanjut Frenavit, banyak manfaat internet bagi anak seperti edukasi, hiburan, interaksi/komunikasi dan meningkatkan daya kreasi. Contoh situs web untuk remaja, misalnya Wikipedia, google translate, howstuffworks.com, informasi beasiswa. “Dan masih banyak situs dan game yang dapat digunakan untuk belajar, bermain dan juga meningkatkan kreativitas anak,” paparnya.
Namun, perlu diwaspadai adanya bahaya yang mengintai para pengguna internet, terutama dari kalangan anak-anak dan remaja. Misalnya, anak dan remaja yang diculik atau pergi dari rumah bersama seseorang yang dikenalnya di media sosial.
Frenavit mengidentifikasi tiga ancaman terhadap anak-anak di dunia maya yaitu pornografi, keamanan dan privasi. Antara lain, terjadinya kecanduan internet yang tak terkontrol, cyberbully dan terbukanya informasi pribadi terhadap orang-orang yang tidak seharusnya.
Pria berperawakan tinggi tersebut menyayangkan banyak orangtua yang hanya fokus pada ancaman pornografi, padahal isu keamanan dan privasi tak kalah penting. Ia mencontohkan, banyak anak-anak yang bermain sosial media kemudian mengungkapkan hal-hal privasi kepada orang lain yang hanya dikenalnya di dunia maya.
"Salah satu kebiasaan digital native yang harus diwaspadai adalah mereka tidak memperhatikan privasi. Umpatan anak pada orangtua sering ditemukan di media sosial. Predator online biasanya memanfaatkan itu," terangnya.
Ia mencontohkan, seorang anak yang berkenalan dengan seseorang yang mengaku dokter di media sosial yang ternyata seorang predator. Tanpa curiga, anak tersebut menjawab pertanyaan-pertanyaan yang kemudian mengarah kepada organ intim.
"Para predator itu biasanya bisa berbulan-bulan mengajak berkomunikasi dengan anak. Mereka berusaha memperoleh kepercayaan dari anak sebelum memperdayanya. Kadang yang mereka tanyakan adalah sesuatu yang remeh, seperti aktivitas anak atau bagaimana perasaan anak. Disini pentingnya peran dan pengawasan orangtua," papar Frenavit.
Waktu yang Tepat
Pertanyaan dari salah satu orangtua yang hadir saat itu, Supardi Lee yaitu mengenai kapan waktu yang tepat memberi pengertian kepada anak mengenai situs web yang tergolong vulgar. Sebab, dikhawatirkan akan lebih berbahaya, jika anak mencaritahu sendiri atau dari teman-teman sebaya saja.
Menurut Frenavit, memberi pengertian kepada anak-anak mengenai bagian-bagian tubuh sensitif yang kemungkinan mereka akan temui di interet, tak mengenal usia. “Ketika anak mulai masuk internet, berapapun umurnya mereka harus diberi pengertian tentang itu,” kata pria berperawakan tinggi tersebut. Ia menambahkan, anak bisa mulai diperkenalkan internet pada usia delapan tahun dengan konten-konten yang sesuai.
Pertanyaan dari orangtua berikutnya mengenai durasi anak berselancar di internet. Frenavit memberi batasan sebagai berikut :
• Anak usia 8-12 tahun (SD) durasi berinternet sekitar 1 jam
• Anak usia 13-15 tahun (SMP) durasi berinternet 1 jam 30 menit
• Anak usia 15-18 tahun (SMA) hingga dewasa sekitar 2 jam
Namun, Frenavit tetap menekankan pentingnya sisipan internaksi setiap 30 menit. Untuk anak-anak usia SD, bisa saja setelah 30 menit berinternet, misalnya disisipi bermain lego selama 15 menit.
“Kalau anak sudah berinternet tanpa jeda, atau saat dipanggil, diam saja maka orangtua sebaiknya waspada, Mulai pendampingan,” tegasnya.
Pentingnya jeda setiap kali menatap layar komputer atau tablet ataupun gadget lain adalah efeknya terhadap kesehatan. “Sebaiknya tiap 15 menit, alihkan pandangan dari layar. Termasuk juga untuk orang dewasa,” terang Frenavit.
Ia memberi sebuah contoh aplikasii yang dapat diunduh pada perangkat gadget dari k9webprotection.com yang dapat membantu orangtua membatasi konten sekaligus durasi internet. "Jika anak hanya diperbolehkan berinternet selama satu jam, maka aplikasi ini otomatis akan menghentikan koneksi internet setelah satu jam," pungkasnya.
Tips Orangtua Memandu Internet untuk Anak
Menghadapi dunia digital bersama dengan digital native bukanlah pekerjaan remeh bagi para orangtua. Namun, menutup akses internet bagi anak dan remaja juga tidak dapat menjadi solusi. Jadi apa yang harus dilakukan orangtua? Berikut tips yang dapat dilakukan:
Persiapan
1. Pelajari manfaat internet
2. Pelajari situs dan aplikasi di internet
3. Pelajari perangkat digital dan sistem operasinya
Pembelajaran
1. Kenalkan asyiknya berinternet
2. Bangun kebiasaan saling bercerita
3. Menjaga keseimbangan hidup
4. Waktu penggunaan yang proporsional
5. Etika dunia nyata, etika di internet
6. Ajarkan tiga aturan dasar berinternet diatas
7. Luangkan waktu untuk aktivitas bersama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar