Data terbaru memperkirakan bahwa 24,6 juta orang atau 8,2% dari populasi di Amerika telah didiagnosis asma. Meskipun telah diterapi dengan glukokortikoid inhalasi dan beta agonis kerja lama (LABAs), penyakit tidak terkontrol pada 10 hingga 20% pasien. Pasien ini berisiko untuk hasil keluaran yang buruk, dan biaya pengobatan mereka menjadi masalah ekonomi bagi penderita asma. Mekanisme yang menyertai kontrol asma yang buruk ini masih belum diketahui.
Gejala klinis asma persisten, sedang sampai berat dikenali dalam berbagai fenotipe. Data memperlihatkan bahwa proses radang berhubungan dengan imunitas sel T helper tipe 2 terlihat pada hampir separuh dari populasi asma. Sebagai contoh, percobaan klinis pada antibodi terhadap sitokin yang berhubungan dengan Th2 secara konsisten memperlihatkan efektivitas pada partisipan dengan peningkatan kadar eosinofil atau penanda-penanda lain dari jalur aktivasi Th2. Sitokin ini khususnya interleukin 4 dan interleukin 13 berperan pada asma dan penyakit atopik. Sinyal melalui dua reseptor berbeda namun saling tumpang tindih, masing-masing mengandung subunit alfa reseptor interleukin 4. Reseptor tipe 1 diaktivasi hanya oleh interleukin 4, berlokasi predominan di limfosit dan mengontrol diferensiasi sel Th2.
Reseptor tipe II diaktivasi oleh interleukin 4 dan interleukin 13, diekspresikan secara luas melalui sel-sel mieloid dan residen. Oleh karena itu, antibodi yang bekerja pada reseptor interleukin 4 potensial dapat menghambat jalur yang dilalui oleh kedua sitokin.
Dupilumab sebuah antibodi monoklonal manusia terhadap subunit alfa reseptor interleukin 4 yang menghambat baik sinyal interleukin 4 dan interleukin 13, sedang dievaluasi untuk terapi penyakit yang dimediasi oleh jalur Th2. Tujuan penelitian ini adalah untuk menilai efektivitas dan keamanan dupilumab pada pasien dewasa dengan asma sedang sampai berat dan kadar eosinofil yang meningkat.
Metode
Penelitian acak, plasebo terkontrol, tersamar ganda, penelitian fase 2A kelompok paralel dilakukan di 28 tempat di Amerika Serikat dari Maret 2011 sampai Oktober 2012. Periode skrining selama 2 minggu diikuti oleh periode intervensi selama 12 minggu dan periode tindak lanjut 8 minggu.
Pasien yang memenuhi syarat adalah berumur 18 sampai 65 tahun dan memiliki asma sedang sampai berat, persisten, peningkatan kadar eosinofil darah (≥ 300 sel per mikroliter) atau peningkatan kadar eosinofil sputum meningkat (≥ 3%) saat skrining, dan gejala-gejala yang tidak terkontrol dengan glukokortikoid inhalasi dosis medium sampai tinggi ditambah beta agonis kerja lama (fluticasone [≥ 250 μg] dan salmeterol [50 μg] dua kali sehari atau ekuivalen).
Diagnosis asma paling sedikit 12 bulan ditandai oleh reversibilitas volume ekspirasi dalam 1 detik (FEV1) selama skrining atau lebih awal atau oleh methacholine challenge positif dalam 12 bulan sebelum skrining. Kriteria inklusi tambahan adalah FEV1 50% atau lebih dari nilai prediktif selama skrining dan saat randomisasi, sebuah skor Asthma Control Questionnaire (versi lima pertanyaan, ACQ5) dari 1,5 hingga 3,0 pada saat skrining (jangkauan skor 0-6, dengan skor yang lebih rendah mengindikasikan kontrol asma yang lebih baik dan 0,5 sebagai nilai perbedaan minimal yang bermakna secara klinis antar skor), dan paling sedikit eksaserbasi asma dalam 2 tahun sebelum skrining (ditandai oleh terapi dengan lebih dari sama dengan 1 glukokortikoid sistemik, perawatan di rumah sakit, atau kunjungan instalasi gawat darurat karena perburukan asma).
Intervensi
Pasien secara acak dibagi dengan perbandingan 1:1 secara sentral untuk menerima injeksi subkutan dupilumab (300 mg) atau plasebo selama 12 minggu. Injeksi diberikan oleh peneliti atau personil lain yang tidak mengetahui pembagian kelompok penelitian. Sebagai tambahan, pasien menerima fluticasone (250 atau 500 μg) dan salmeterol (50 μg) dua kali sehari (berdasarkan dosis glukokortikoid inhalasi dan beta agonis kerja lama sebelum percobaan) selama 4 minggu. Pasien diinstruksikan untuk menghentikan beta agonis kerja lama pada minggu ke-4, menurunkan secara perlahan-lahan, dan menghentikan glukokortikoid inhalasi selama minggu ke 6 sampai minggu ke 9. Pendekatan ini memungkinkan peneliti mengamati efek dupilumab saat ditambahkan pada terapi standar, setelah penghentian beta agonis kerja lama, selama penurunan secara perlahan-lahan dosis glukokortikoid inhalasi, dan sebagai monoterapi.
Pasien menerima pengobatan selama 12 minggu atau sampai protokol eksaserbasi asma terjadi. Dalam rangka penelitian penghentian pengobatan asma, eksaserbasi diartikan sebagai kejadian salah satu dari: penurunan 30% atau lebih aliran ekspirasi puncak (PEF) di pagi hari dari awal penelitian dalam 2 hari berturut-turut, paling sedikit 6 inhalasi reliever tambahan albuterol atau levalbuterol dalam waktu 24 jam relatif dari awal penelitian dalam 2 hari berturut-turut, atau eksaserbasi asma yang membutuhkan terapi glukokortikoid sistemik, peningkatan glukokortikoid inhalasi paling sedikit 4 kali dosis terbaru, atau perawatan di rumah sakit karena asma.
Keluaran
Keluaran primer adalah kejadian sebuah eksaserbasi asma, seperti yang telah didefinisikan sebelumnya, selama waktu 12 minggu intervensi. Keluaran sekunder adalah waktu terhadap timbulnya eksaserbasi asma dan perubahan dari awal penelitian pada setiap kunjungan dan pada minggu ke-12 dalam FEV1 di pagi hari dan PEF di sore hari, skor ACQ5, skor gejala asma pagi dan sore hari (jangkauan skor 0 sampai 4 dengan skor lebih tinggi mengindikasikan gejala yang lebih parah), terbangun di malam hari, dan jumlah inhalasi albuterol atau levalbuterol per hari. Seluruh keluaran kecuali FEV1 direkam pada sebuah diari elektronik dan digunakan untuk penilaian gejala saluran napas bawah. Pastisipan mengisi 22 item Sinonasal Outcome Test (SNOT-22 [jangkauan skor dari 0 sampai 110, dengan skor yang lebih tinggi menandakan keluaran yang lebih buruk dan dengan 8.9 sebagai perbedaan minimal yang bermakna secara klinis antar skor]) di awal penelitian dan pada akhir waktu intervensi.
Pengukuran farmakodinamik, termasuk biomarker yang berhubungan dengan Th2, telah dinilai pada beberapa titik waktu. Terdapat fraksi nitrit oxide yang dibuang (FeNO), biomarker serum (timus dan aktivasi kemokin terregulasi [TARC atau CCL17], IgE, YKL-40 dan antigen carcinoembrionik [CEA]), plasma eotaxin-3 (CCL26), dan kadar eosinofik darah perifer. Tingkat keamanan dan tolerabilitas dievaluasi berdasarkan insiden efek samping dan efek samping serius, tanda vital dan pemeriksaan fisik, tes laboratorium klinis, danelektrokardiografi 12 lead.
Analisis Statistik
Analisis efektivitas dilakukan pada populasi yang diobati, didefinisikan sebagai seluruh pasien acak yang menerima paling sedikit satu dosis obat yang diteliti. Hampir 50% per kelompok dibutuhkan untuk mendeteksi perbedaan absolut 30 persen poin dalam eksaserbasi asma antara dua kelomok, dengan kekuatan 80% (tingkat two-tailed alpha 0,05) dan asumsi 10% tingkat drop out.
Untuk keluaran primer, model regresi logistik digunakan untuk membandingkan dua kelompok penelitian, dengan obat penelitian dan faktor stratifikasi (glukokortikoid inhalasi dan beta agonis kerja lama dosis sebelumnya) dimasukan sebagai kovariat. Keluaran sekunder waktu timbulnya eksaserbasi asma dianalisa dengan menggunakan tes log-rank untuk membandingkan survival distribution antarkelompok. Untuk keluaran sekunder lain (kecuali skor SNOT-22), perubahan dari awal penelitian dievaluasi dengan menggunakan model mixed-effect dengan pengukuran berulang. Model meliputi nilai perubahan dari awal penelitian sampai minggu ke-12 sebagai variabel respon dan faktor yang termasuk (fixed effects) untuk obat penelitian, faktor stratifikasi, kunjungan, interaksi antara obat penelitian dan kunjungan, nilai sebelum penelitian, dan interaksi antara nilai sebelum penelitian dan kunjungan. Inferensi statistik pada perbandingan obat penelitian untuk perubahan dari awal penelitian pada minggu ke-12 telah diturunkan dari model mixed-effects.
Perubahan dari awal penelitian pada skor SNOT-22 dianalisis dengan menggunakan analisis kovarians (ANCOVA), dengan pengukuran pada akhir periode intervensi untuk menghubungkan data yang hilang. Efek farmakodinamik telah dievaluasi dengan menggunakan model mixed-effects dengan pengukuran berulang pada mode post hoc. Tidak dilakukan penyesuaian untuk perbandingan multipel karena hanya terdapat satu keluaran primer dan analisis.
Statistik deskriptif digunakan untuk karakteristik klinis dan demografik dan untuk variabel keamanan termasuk efek samping, tanda vital, dan pemeriksaan fisik, uji laboratorium, dan EKG. Plot dari variabel farmakodinamik dan sekunder ditampilkan dalam rata-perubahan rata-rata (±SE) atau perubahan persentase dari awal penelitian. Perbandingan dari efek terapi dari model mixed-effects dengan pengukuran berulang berdasarkan pada perubahan rata-rata kuadrat paling kecil (95% CI) dari awal penelitian pada minggu ke-12.
Pasien
Total 104 pasien (dari 491 yang diskrining) dilakukan randomisasi dengan 52 setiap kelompok penelitian. Tiga pasien memenuhi syarat kadar eosinophil sputum meningkat dan sisinya memenuhi kriteria untuk kadar eosinophil darah meningkat. Seluruh pasien yang telah diacak menerima paling sedikit satu dosis obat. Karakteristik klinis dan demografis sama pada kedua kelompok.
Waktu intervensi telah diselesaikan oleh 87% pasien pada kelompok dupilumab dan 67% pasien plasebo. Penyebab paling banyak pasien tidak melanjutkan penelitian adalah kurangnya efektivitas, dimana lebih banyak pada plasebo (11 pasien, 21 %) daripada dupilumab (1 pasien, 2%).
Keluaran Primer
Eksaserbasi asma terjadi pada 26 pasien: 3 menerima dupilumab (6%) dan 23 menerima plasebo (44%) (odds ratiodengan dupilumab 0.08;95% CI, 0.02 – 0.28; P<0.001). Tidak ada pasien yang dirawat karena eksaserbasi asma. Kejadian paling sering yang menunjukkan eksaserbasi asma adalah penurunan PEF di pagi hari dan peningkatan pengunaan pengobatan reliever, masing-masing 2% dan 19% pasien pada kelompok dupilumab dan plasebo, secara berurutan.
Keluaran Sekunder
Waktu untuk terjadinya eksaserbasi asma lebih panjang dan risiko eksaserbasi dikurangi dengan dupilumab dibandingkan dengan plasebo (hazard ratio, 0.10;95% CI, 0.03 – 0.34; P<0.001). Untuk seluruh keluaran sekunder, pengukuran minggu ke-12 menunjukkan keunggulan dupilumab dan perbedaan antarkelompok signifikan kecuali untuk PEF sore, terbangun di malam hari, dan beberapa item SNOT-22.
Diskusi
Penelitian sebelumnya memperlihatkan bahwa sitokin Th2 interleukin 4 dan interleukin 13 memiliki peran dalam asma. Data dari penelitian dupilumab mendukung peran patogeniknya pada pasien dengan asma sedang sampai berat persisten dan tingkat eosinofil meningkat. Data penelitian ini dan penelitian sebelumnya memperlihatkan bahwa memblok kedua sitokin lebih efektif daripada salah satu saja. Efektivitas dupilumab telah diobservasi pada pasien diterapi dengan glukokortikoid inhalasi dosis medium sampai tinggi (80% pasien menggunakan glukokortikoid inhalasi dosis tinggi) dengan kombinasi dengan beta agonis kerja lama, sebuah penemuan yang memperlihatkan bahwa pasien dengan inflamasi saluran napas residual, terdapat interleukin 4 dan interleukin 13 dan berkontribusi pada penyakit meskipun sudah diterapi glukokortikoid.
Dupilumab mengurangi proporsi pasien dengan kejadian eksaserbasi asma, didefinisikan oleh protokol, 87% relatif terhadap plasebo. Dupilumab memperlihatkan efektivitas substansial dengan mempertimbangkan kedua objektif dan hasil akhir pasien dilaporkan pasien saat ditambahkan pada glukokortikoid inhalasi dan LABA, dengan efektivitas terjaga meskipun penghentian terapi. FEV1 meningkat lebih dari 200 ml saat dupilumab dibandingkan dengan plasebo yang telah ditambahkan terhadap glukokortikoid inhalasi dan LABA, peningkatan ketahanan selama diskontinuasi dan penurunan. Hal ini khususnya terlihat karena pasien yang mengikuti penelitian memiliki FEV1 hampir 70% nilai prediksi dan meskipun dengan terapi penyerta, tidak dianggap memiliki kontrol asma yang baik berdasarkan kriteria standar (skor ACQ5 awal penelitian adalah 2.1). Peningkatan cepat dan menetap selama durasi penelitian juga diteliti pada gejala, penggunaan agonis beta, dan skor ACQ5. Berdasarkan skor ACQ5, perbedaan antarkelompok perubahan dari awal penelitian adalh 0.73 poin, lebih ebsar daripada perubahan poin yang dianggap signifikan yaitu 0.5.
Reaksi di tempat suntikan, nasofaringitis, muntah, dan nyeri kepala terjadi lebih sering dengan dupilumap daripada dengan plasebo, dan lesi kemerahan popular progresif, urtikaria, dan edema terbentuk pada 1 pasien, menyebabkan pemberian terapi simtomatik tidak darurat dan penghentian dupilumab. Karena hanya 52 pasien menerima dupilumab pada penelitian ini, spektrum kejadian efek samping potensial tidak diketahui, pasien akan dimonitor secara lebih dekat untuk setiap kejadian.
Sebagai kesimpulan, penelitian 12 minggu memperlihatkan bahwa pada subpopulasi pasien dengan asma persisten, terapi dupilumab, dibandingkan dengan plasebo, dihubungkan dengan eksaserbasi yang lebih sedikit. Manfaat telah diidentifikasi secara primer oleh perubahan dalam aliran puncak dan penggunaan beta agonis. Waktu penelitian jangka pendek dan definisi yang digunakan untuk eksaserbasi mungkin tidak menggambarkan eksaserbasi asma yang nyata. Penelitian lebih lanjut dibutuhkan untuk mengkonfirmasi penelitian ini dan mendefinisikan populasi target, regimen dosis, serta keamanan dan efektivitas jangka panjang yang lebih baik.